YANTI
Kamis,
05 Juni 2008 12:00 WIB
7420
Dibaca
Tools
Box
Beberapa
komentar di website kickandy.com mempertanyakan mengapa Kick Andy
sering mengangkat topik yang berkaitan dengan saudara-sauadara kita
yang mengalami kekurangan secara fisik. Mengapa kaum disable ini
mendapat tempat istimewa di Kick Andy
Saya
sendiri baru menyadari hal tersebut setelah membaca beberapa komentar
tersebut. Dalam rapat-rapat penentuan topik apa yang akan diangkat di
Kick Andy, mungkin secara tidak sadar saya selalu antusias ketika
topik yang dibahas berkaitan dengan saudara-saudara kita yang secara
fisik tidak sempurna.
Komentar
yang masuk tersebut membuat saya merenung. Saya baru menyadari banyak
topik yang diangkat di Kick Andy ternyata punya keterkaitan dengan
masa lalu saya. Langsung maupun tidak. Soal tunagrahita, misalnya.
Ketika saya mencoba menelusuri masa lalu, saya menemukan satu babak
dalam kehidupan saya yang bersentuhan erat dengan seorang anak
tunagrahita.
Saat
itu saya duduk di kelas dua SD, di Surabaya. Tetangga saya sebelah
rumah persis, memiliki anak tunagrahita. Namanya Yanti. Di usianya
yang menginjak lima tahun, anak bungsu dari sembilan bersaudara ini
belum bisa berbicara. Bola matanya selalu bergerak-gerak tanpa henti.
Pandangannya kosong. Wajahnya khas anak tunagrahita. Jika marah,
Yanti selalu membentur-benturkan kepalanya ke tembok. Sungguh
mengerikan.
Beda
usia yang juga sangat jauh dengan kakak-kakaknya membuat Yanti
semakinkesepian. Dengan keterbelakangan mental semacam itu kehadiran
Yanti lebih banyak dirasakan sebagai beban ketimbang menghibur.
Apalagi jika sedang marah, tidak mudah menghentikan Yanti saat dia
membenturkan kepalanya dengan keras ke tembok.
Lalu
apa hubungannya Yanti dengan saya? Awal tahun 70-an, tidak banyak
keluarga yang memiliki televisi di rumah mereka. Waktu itu televisi
hitam putih (belum berwarna seperti sekarang) menjadi lambang
prestise. Hanya keluarga kaya yang bisa memajang pesawat televisi di
ruang tamu mereka. Salah satu di antaranya keluarga Yanti.
Saya
termasuk yang kurang beruntung. Jangankan televisi, radio saja saya
tidak punya. Karena itu, hampir setiap sore saya menumpang nonton di
rumah Yanti. (Waktu itu, seingat saya, TVRI sebagai satu-satunya
stasiun televisi yang ada, baru mulai siaran sore hari). Nah, agar
diijinkan menumpang nonton, saya terpaksa pura-pura ngajak Yanti
bermain. Orang Jawa bilang “ngemong”. Itu saya lakukan setiap
hari sebagai “harga” yang harus saya bayar. Termasuk jika Yanti
minta diajak jalan-jalan ke luar rumah. Begitu berhari-hari,
berminggu-minggu, berbulan-bulan.
Kehadiran
saya tentu menyenangkan hati ayah, ibu, dan kakak-kakak Yanti.
Setidaknya, setiap sore mereka terbebas dari kewajiban “ngemong”
Yanti. Saya mengambilalih fungsi tersebut. Jadi, ini hubungan
simbiosis mutualistis.Hubungan saling menguntungkan. Saya bisa nonton
televisi sambil menjaga Yanti, sementara keluarganya bisa “istirahat”
sejenak. Namun lama kelamaan Yanti begitu lengket pada saya. Setiap
melihat saya, matanya berbinar-binar. Senyumnya mengembang.
Bahkan
jika Yanti menangis dan tak seorang pun mampu meredakannya, maka
kakak-kakak Yanti biasanya memanggil saya sebagai “pawangnya“
untuk membantu meredakan tangis atau amarah Yanti. Biasanya selalu
berhasil.
Dari
sekadar sebagai upaya agar bisa numpang nonton televisi, semakin lama
saya semakin sayang pada Yanti. Sebagai anak bungsu, saya merasa
seakan mempunyai adik. Jika mendengar suara tangis Yanti, rasanya
saya ingin berlari untuk menghiburnya. Bahkan belakangan saya lebih
sering mengorbankan keinginan nonton televisi dan memiilih untuk
mengajak Yanti jalan-jalan di sore hari.
Sampai
pada suatu hari saya harus pindah ke kota Malang. Saya harus
meninggalkan Yanti. Sedih rasanya mengenang saat-saat perpisahan
dengannya. Walau tak pernah terucapkan, dari matanya yang nanar
ketika saya pamit, Yanti seakan merasakan perpisahan itu.
Sehari
sebelum berangkat ke Malang, saya mengajak Yanti jalan-jalan. Dalam
usianya yang lima tahun itu, Yanti belum dapat berjalan dengan
sempurna. Dia lebih banyak dalam gendongan saya. Tidak mudah bagi
anak kelas dua SD seperti saya menggendong anak umur lima tahun
dengan tubuh cenderung gemuk. Tapi rasa pegal kerap dikalahkan cinta
kasih saya pada Yanti yang sudah saya anggap sebagai adik sendiri.
Delapan
tahun setelah perpisahan itu, saya pernah mampir ke Surabaya. Waktu
itu saya sudah duduk di kelas dua STM. Kesempatan itu saya gunakan
untuk bertemu Yanti. Yanti nyaris hampir seperti dulu. Wajahnya,
mimiknya, bola matanya. Hanya tubuhnya kini lebih besar. Tapi Yanti
sudah tidak mengenali saya.
Upaya
saya untuk membangkitkan kenangan lama atas hubungan kami, sia-sia.
Hancur rasanya hati melihat bagaimana Yanti menatap saya dengan
pandangan dingin. Mata yang berbinar-binar itu tidak terlihat lagi.
Saya bagaikan mahluk asing baginya. Itulah pertemuan terakhir saya
dengan Yanti.
Dalam
perjalanan hidup saya kemudian, setiap kali melihat anak-anak
tunagrahita, hati saya terenyuh. Saya teringat Yanti. Saya ingat
wajah yang selalu gembira melihat kedatangan saya setiap sore. Dalam
keterbatasannya, menurut ibunya, Yanti selalu tidak sabar menunggu
kedatangan saya setiap jam empat sore. Waktu dimana saya selalu
datang untuk menumpang nonton televisi di rumah mereka.
Mungkin
pengalaman hidup bersama yanti inilah yang membuat saya selalu
bersemangat ketika teman-teman di tim Kick Andy hendak mengangkat
topik yang berkaitan dengan keterbelakangan mental atau anak-anak
dengan kebutuhan khusus. Masa lalu memang tidak mudah dihapus dari
ingatan. Kadang masa lalu tersebut bersembunyi di balik alam bawah
sadar kita, kemudian menyeruak ke permukaan pada saat-saat tertentu.
Begitu pula yang terjadi pada saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar