Bismilahirrohmannirrohim

Semoga selamat dan bahagia di dunia dan di akhirat

Kamis, 15 September 2011

YANTI


YANTI
Kamis, 05 Juni 2008 12:00 WIB
7420 Dibaca
Tools Box
Beberapa komentar di website kickandy.com mempertanyakan mengapa Kick Andy sering mengangkat topik yang berkaitan dengan saudara-sauadara kita yang mengalami kekurangan secara fisik. Mengapa kaum disable ini mendapat tempat istimewa di Kick Andy
Saya sendiri baru menyadari hal tersebut setelah membaca beberapa komentar tersebut. Dalam rapat-rapat penentuan topik apa yang akan diangkat di Kick Andy, mungkin secara tidak sadar saya selalu antusias ketika topik yang dibahas berkaitan dengan saudara-saudara kita yang secara fisik tidak sempurna.
Komentar yang masuk tersebut membuat saya merenung. Saya baru menyadari banyak topik yang diangkat di Kick Andy ternyata punya keterkaitan dengan masa lalu saya. Langsung maupun tidak. Soal tunagrahita, misalnya. Ketika saya mencoba menelusuri masa lalu, saya menemukan satu babak dalam kehidupan saya yang bersentuhan erat dengan seorang anak tunagrahita.
Saat itu saya duduk di kelas dua SD, di Surabaya. Tetangga saya sebelah rumah persis, memiliki anak tunagrahita. Namanya Yanti. Di usianya yang menginjak lima tahun, anak bungsu dari sembilan bersaudara ini belum bisa berbicara. Bola matanya selalu bergerak-gerak tanpa henti. Pandangannya kosong. Wajahnya khas anak tunagrahita. Jika marah, Yanti selalu membentur-benturkan kepalanya ke tembok. Sungguh mengerikan.
Beda usia yang juga sangat jauh dengan kakak-kakaknya membuat Yanti semakinkesepian. Dengan keterbelakangan mental semacam itu kehadiran Yanti lebih banyak dirasakan sebagai beban ketimbang menghibur. Apalagi jika sedang marah, tidak mudah menghentikan Yanti saat dia membenturkan kepalanya dengan keras ke tembok.
Lalu apa hubungannya Yanti dengan saya? Awal tahun 70-an, tidak banyak keluarga yang memiliki televisi di rumah mereka. Waktu itu televisi hitam putih (belum berwarna seperti sekarang) menjadi lambang prestise. Hanya keluarga kaya yang bisa memajang pesawat televisi di ruang tamu mereka. Salah satu di antaranya keluarga Yanti.
Saya termasuk yang kurang beruntung. Jangankan televisi, radio saja saya tidak punya. Karena itu, hampir setiap sore saya menumpang nonton di rumah Yanti. (Waktu itu, seingat saya, TVRI sebagai satu-satunya stasiun televisi yang ada, baru mulai siaran sore hari). Nah, agar diijinkan menumpang nonton, saya terpaksa pura-pura ngajak Yanti bermain. Orang Jawa bilang “ngemong”. Itu saya lakukan setiap hari sebagai “harga” yang harus saya bayar. Termasuk jika Yanti minta diajak jalan-jalan ke luar rumah. Begitu berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan.
Kehadiran saya tentu menyenangkan hati ayah, ibu, dan kakak-kakak Yanti. Setidaknya, setiap sore mereka terbebas dari kewajiban “ngemong” Yanti. Saya mengambilalih fungsi tersebut. Jadi, ini hubungan simbiosis mutualistis.Hubungan saling menguntungkan. Saya bisa nonton televisi sambil menjaga Yanti, sementara keluarganya bisa “istirahat” sejenak. Namun lama kelamaan Yanti begitu lengket pada saya. Setiap melihat saya, matanya berbinar-binar. Senyumnya mengembang.
Bahkan jika Yanti menangis dan tak seorang pun mampu meredakannya, maka kakak-kakak Yanti biasanya memanggil saya sebagai “pawangnya“ untuk membantu meredakan tangis atau amarah Yanti. Biasanya selalu berhasil.
Dari sekadar sebagai upaya agar bisa numpang nonton televisi, semakin lama saya semakin sayang pada Yanti. Sebagai anak bungsu, saya merasa seakan mempunyai adik. Jika mendengar suara tangis Yanti, rasanya saya ingin berlari untuk menghiburnya. Bahkan belakangan saya lebih sering mengorbankan keinginan nonton televisi dan memiilih untuk mengajak Yanti jalan-jalan di sore hari.
Sampai pada suatu hari saya harus pindah ke kota Malang. Saya harus meninggalkan Yanti. Sedih rasanya mengenang saat-saat perpisahan dengannya. Walau tak pernah terucapkan, dari matanya yang nanar ketika saya pamit, Yanti seakan merasakan perpisahan itu.
Sehari sebelum berangkat ke Malang, saya mengajak Yanti jalan-jalan. Dalam usianya yang lima tahun itu, Yanti belum dapat berjalan dengan sempurna. Dia lebih banyak dalam gendongan saya. Tidak mudah bagi anak kelas dua SD seperti saya menggendong anak umur lima tahun dengan tubuh cenderung gemuk. Tapi rasa pegal kerap dikalahkan cinta kasih saya pada Yanti yang sudah saya anggap sebagai adik sendiri.
Delapan tahun setelah perpisahan itu, saya pernah mampir ke Surabaya. Waktu itu saya sudah duduk di kelas dua STM. Kesempatan itu saya gunakan untuk bertemu Yanti. Yanti nyaris hampir seperti dulu. Wajahnya, mimiknya, bola matanya. Hanya tubuhnya kini lebih besar. Tapi Yanti sudah tidak mengenali saya.
Upaya saya untuk membangkitkan kenangan lama atas hubungan kami, sia-sia. Hancur rasanya hati melihat bagaimana Yanti menatap saya dengan pandangan dingin. Mata yang berbinar-binar itu tidak terlihat lagi. Saya bagaikan mahluk asing baginya. Itulah pertemuan terakhir saya dengan Yanti.
Dalam perjalanan hidup saya kemudian, setiap kali melihat anak-anak tunagrahita, hati saya terenyuh. Saya teringat Yanti. Saya ingat wajah yang selalu gembira melihat kedatangan saya setiap sore. Dalam keterbatasannya, menurut ibunya, Yanti selalu tidak sabar menunggu kedatangan saya setiap jam empat sore. Waktu dimana saya selalu datang untuk menumpang nonton televisi di rumah mereka.
Mungkin pengalaman hidup bersama yanti inilah yang membuat saya selalu bersemangat ketika teman-teman di tim Kick Andy hendak mengangkat topik yang berkaitan dengan keterbelakangan mental atau anak-anak dengan kebutuhan khusus. Masa lalu memang tidak mudah dihapus dari ingatan. Kadang masa lalu tersebut bersembunyi di balik alam bawah sadar kita, kemudian menyeruak ke permukaan pada saat-saat tertentu. Begitu pula yang terjadi pada saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar