Kematian
(1)
Senin,
01 September 2008 00:00 WIB
21932
Dibaca
Tools
Box
Sungguh
sulit melupakan kejadian itu. Setiap kali saya mencoba menghapusnya
dari pikiran, semakin kuat tragedi itu melekat dalam ingatan. Di
depan mata saya, kaki sahabat saya tergilas ban mobil yang
dikemudikan ayahnya. Dalam kondisi bersimbah darah dia dilarikan ke
Rumah Sakit Stela Maris. Seminggu kemudiaan Erens pergi untuk
selama-lamanya.
Bayangan
kejadian itu muncul setiap kali ada orang yang saya cintai meninggal.
Padahal peristiwa itu terjadi saat usia saya lima tahun. Sama dengan
usia Erens. Maka, ketika mendapat kabar nenek saya di Belanda
meninggal, seminggu lalu, kenangan itu muncul kembali. Seakan
peristiwa kematian Erens baru terjadi kemarin.
Sore
itu saya dan Eyen – begitu saya biasa memanggil Erens – sedang
bermain di depan rumahnya di Jalan Bungur, Makassar. Saat kami sedang
asyik, ayah Eyen keluar lalu memanaskan mesin mobil yang di parkir di
depan rumah. Setelah itu dia kembali masuk dan meninggalkan mesin
mobil tetap menyala.
Melihat semburan asap knalpot, timbul ide di kepala Eyen. Dia mengambil daun mangga kering kemudian menempelkannya di mulut knalpot. Gerakan liar daun mangga yang diterpa asap knalpot membuat kami kegirangan. Tapi, begitu melihat ayah Eyen keluar, kami secara reflek bersembunyi di belakang mobil.
Melihat semburan asap knalpot, timbul ide di kepala Eyen. Dia mengambil daun mangga kering kemudian menempelkannya di mulut knalpot. Gerakan liar daun mangga yang diterpa asap knalpot membuat kami kegirangan. Tapi, begitu melihat ayah Eyen keluar, kami secara reflek bersembunyi di belakang mobil.
Hanya
dalam hitungan detik, tiba-tiba Eyen menjerit kesakitan. Saya melihat
darah menyembur dari balik kulit kakinya yang koyak. Ayah Eyen
melompat keluar dari mobil dan mendapatkan sang anak tercinta sedang
menggelepar menahan sakit. Darah di mana-mana. Kaki Eyen terlindas
ban mobil yang mundur.
Dengan
darah yang membasahi seluruh baju putihnya, saya melihat ayah Eyen
membopong dan melarikan sahabat saya itu ke rumah sakit Stela Maris,
yang tidak jauh dari rumah kami. Itulah saat terakhir saya melihat
Eyen.
Lukanya cukup parah. Eyen harus dirawat rumah sakit. Hari demi hari, setiap pagi dan sore, saya menatap ujung jalan berharap Eyen pulang. Tetapi harapan itu tak kunjung tiba. Hari-hari saya lalui dalam kesendirian. Saya kesepian. Saya rindu padanya. Beberapa kali saya bertanya pada ibu Eyen kapan sahabat saya itu pulang, tapi wanita itu hanya menggeleng lemah.
Lukanya cukup parah. Eyen harus dirawat rumah sakit. Hari demi hari, setiap pagi dan sore, saya menatap ujung jalan berharap Eyen pulang. Tetapi harapan itu tak kunjung tiba. Hari-hari saya lalui dalam kesendirian. Saya kesepian. Saya rindu padanya. Beberapa kali saya bertanya pada ibu Eyen kapan sahabat saya itu pulang, tapi wanita itu hanya menggeleng lemah.
Sampai
suatu hari, ketika sedang bermain di depan rumah Eyen, saya melihat
ibu sahabat saya itu pulang dari rumah sakit dalam balutan isak
tangis yang hebat. Bahunya terguncang-guncang. Matanya merah
bersimbah air mata. Begitu dia masuk ke rumah, segera terdengar
ledakan tangis dan jeritan seisi rumah. Eyen telah berpulang untuk
selama-lamanya.
Selama
di rumah sakit, saya tidak sempat membesuknya. Anak-anak tidak
diijinkan besuk. Katanya Eyen terjangkit tetanus. Maka ingatan
terakhir saya tentang Eyen hanya sebatas wajahnya yang kesakitan
ketika dilarikan ke rumah sakit. Itulah kenangan terakhir bersamanya.
Kematian
Eyen begitu lekat dalam ingatan saya. Bahkan sampai detik ini, 43
tahun kemudian. Itulah pertama kali dalam hidup, di usia lima tahun,
saya mengenal arti kehilangan seseorang yang saya cintai. Mengenal
arti kematian.
Dua
minggu sebelum kematian Eyen, Tuhan memperkenalkan saya pada arti
kematian. Siang itu saya melihat seekor burung gereja sedang mencari
makan di bawah pohon di depan rumah. Sembari mengendap-endap, saya
mendekati mahluk mungil itu. Dengan sekali ayun, batu di tangan saya
meluncur dan menghujam tepat di dada burung itu. Burung itu
menggelepar sejenak kemudian diam selama-lamanya. Saya kaget. Tidak
menyangka lemparan itu lemparan maut, yang menghentikan perjalanan
hidup sang burung.
Merasa
bersalah dan ketakutan, saya melaporkan peristiwa itu kepada kedua
kakak perempuan saya. Mereka marah dan menyesali perbuatan saya.
Setelah kami mengubur burung itu, kakak saya meminta saya berdoa di
atas ‘pusara’ sang burung. Saya diminta mendoakan agar burung
tersebut masuk surga dan meminta maaf pada Tuhan karena saya sudah
mencabut nyawa mahluk tak berdosa itu.
Kenangan
masa kecil itu muncul kembali saat nenek saya menghembuskan nafasnya
yang terakhir, seminggu lalu. Saya kembali kehilangan orang yang saya
cintai. Setelah ayah, kakak, dan ibu, sekarang nenek. Tetapi, kali
ini saya lebih siap. Setidaknya saya sudah menyiapkan hati dan
mental.
Komaruddin
Hidayat, dalam bukunya ‘Psikologi Kematian’, dengan sederhana
menjelaskan arti kematian. Saya mendapatkan buku itu dari teman
kantor yang ‘memaksa’ saya untuk membaca buku bagus tersebut.
Dari sana saya menyadari arti kematian dan kesiapan kita untuk
menerima dengan iklhas ketika orang-orang terdekat kita, orang-orang
yang kita cintai, pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya.
Buku
itu pula yang mendorong kesadaran saya untuk menengok nenek saya di
Belanda ketika mendengar dia jatuh sakit. Bersama istri dan
anak-anak, saya mengunjunginya di Arnhem, sebuah kota kecil di
Belanda. Saya melihat air mata nenek menetes perlahan ketika saya
memperkenalkan anak-anak saya satu per satu kepadanya. Air mata
bahagia.
Dalam
bukunya, Komaruddin menggambarkan dengan sangat baik perdebatan hati,
antara mana yang ‘lebih menyenangkan’, mati mendadak atau mati
dengan didahului sakit. Bagi mereka yang akan pergi, mati mendadak
mungkin pilihan yang terbaik. Tanpa rasa sakit dan seketika.
Namun,
bagaimana dengan mereka yang ditinggalkan? ‘’Ibarat seseorang
yang hendak bepergian, lebih enak kenangannya kalau anggota keluarga
diajak untuk ikut membuat persiapan dan ikut melepaskan. Bukankah
peristiwa kematian tak ubahnya seperti orang mau bepergian?’’
Kata Komaruddin Hidayat.
Ungkapan
yang luar biasa. Sebab banyak di antara kita yang tidak siap ketika
menghadapi kenyataan orang-orang yang kita cintai harus pergi untuk
selama-lamanya. Saya mungkin termasuk yang tidak siap ketika sahabat
kecil saya harus pergi dan tidak pernah kembali. Kematian Eyen
terlalu tiba-tiba. Itu sebabnya bayangan kematiannya selalu muncul
dalam kehidupan saya. Berulang-ulang. Saya tidak sempat mengucapkan
salam perpisahan pada Eyen. Tidak pernah ‘membuat persiapan untuk
melepaskannya’. Ah, seandainya kita bisa selalu siap ‘melepaskan’
orang-orang yang kita cintai untuk selama-lamanya. Seandainya kita
selalu siap ditinggalkan bahkan dalam keadaan mendadak sekalipun.
Maka
saya bersyukur Tuhan masih memberi saya kesempatan untuk membuat
‘persiapan untuk melepaskan’ nenek saya. Malam itu, awal Januari
lalu, di tengah suhu udara Belanda yang membeku, saya berdoa di
samping tempat tidur nenek yang terbaring lunglai. Begitu khidmat,
begitu personal. Seumur hidup itulah doa saya di depan nenek. Nenek
yang dulu merawat saya ketika kecil. Doa terakhir sebelum kematian
menjemputnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar