Bismilahirrohmannirrohim

Semoga selamat dan bahagia di dunia dan di akhirat

Kamis, 15 September 2011

Kematian (1)


Kematian (1)
Senin, 01 September 2008 00:00 WIB
21932 Dibaca
Tools Box
Sungguh sulit melupakan kejadian itu. Setiap kali saya mencoba menghapusnya dari pikiran, semakin kuat tragedi itu melekat dalam ingatan. Di depan mata saya, kaki sahabat saya tergilas ban mobil yang dikemudikan ayahnya. Dalam kondisi bersimbah darah dia dilarikan ke Rumah Sakit Stela Maris. Seminggu kemudiaan Erens pergi untuk selama-lamanya.
Bayangan kejadian itu muncul setiap kali ada orang yang saya cintai meninggal. Padahal peristiwa itu terjadi saat usia saya lima tahun. Sama dengan usia Erens. Maka, ketika mendapat kabar nenek saya di Belanda meninggal, seminggu lalu, kenangan itu muncul kembali. Seakan peristiwa kematian Erens baru terjadi kemarin.
Sore itu saya dan Eyen – begitu saya biasa memanggil Erens – sedang bermain di depan rumahnya di Jalan Bungur, Makassar. Saat kami sedang asyik, ayah Eyen keluar lalu memanaskan mesin mobil yang di parkir di depan rumah. Setelah itu dia kembali masuk dan meninggalkan mesin mobil tetap menyala.

Melihat semburan asap knalpot, timbul ide di kepala Eyen. Dia mengambil daun mangga kering kemudian menempelkannya di mulut knalpot. Gerakan liar daun mangga yang diterpa asap knalpot membuat kami kegirangan. Tapi, begitu melihat ayah Eyen keluar, kami secara reflek bersembunyi di belakang mobil.
Hanya dalam hitungan detik, tiba-tiba Eyen menjerit kesakitan. Saya melihat darah menyembur dari balik kulit kakinya yang koyak. Ayah Eyen melompat keluar dari mobil dan mendapatkan sang anak tercinta sedang menggelepar menahan sakit. Darah di mana-mana. Kaki Eyen terlindas ban mobil yang mundur.
Dengan darah yang membasahi seluruh baju putihnya, saya melihat ayah Eyen membopong dan melarikan sahabat saya itu ke rumah sakit Stela Maris, yang tidak jauh dari rumah kami. Itulah saat terakhir saya melihat Eyen.

Lukanya cukup parah. Eyen harus dirawat rumah sakit. Hari demi hari, setiap pagi dan sore, saya menatap ujung jalan berharap Eyen pulang. Tetapi harapan itu tak kunjung tiba. Hari-hari saya lalui dalam kesendirian. Saya kesepian. Saya rindu padanya. Beberapa kali saya bertanya pada ibu Eyen kapan sahabat saya itu pulang, tapi wanita itu hanya menggeleng lemah.
Sampai suatu hari, ketika sedang bermain di depan rumah Eyen, saya melihat ibu sahabat saya itu pulang dari rumah sakit dalam balutan isak tangis yang hebat. Bahunya terguncang-guncang. Matanya merah bersimbah air mata. Begitu dia masuk ke rumah, segera terdengar ledakan tangis dan jeritan seisi rumah. Eyen telah berpulang untuk selama-lamanya.
Selama di rumah sakit, saya tidak sempat membesuknya. Anak-anak tidak diijinkan besuk. Katanya Eyen terjangkit tetanus. Maka ingatan terakhir saya tentang Eyen hanya sebatas wajahnya yang kesakitan ketika dilarikan ke rumah sakit. Itulah kenangan terakhir bersamanya.
Kematian Eyen begitu lekat dalam ingatan saya. Bahkan sampai detik ini, 43 tahun kemudian. Itulah pertama kali dalam hidup, di usia lima tahun, saya mengenal arti kehilangan seseorang yang saya cintai. Mengenal arti kematian.
Dua minggu sebelum kematian Eyen, Tuhan memperkenalkan saya pada arti kematian. Siang itu saya melihat seekor burung gereja sedang mencari makan di bawah pohon di depan rumah. Sembari mengendap-endap, saya mendekati mahluk mungil itu. Dengan sekali ayun, batu di tangan saya meluncur dan menghujam tepat di dada burung itu. Burung itu menggelepar sejenak kemudian diam selama-lamanya. Saya kaget. Tidak menyangka lemparan itu lemparan maut, yang menghentikan perjalanan hidup sang burung.
Merasa bersalah dan ketakutan, saya melaporkan peristiwa itu kepada kedua kakak perempuan saya. Mereka marah dan menyesali perbuatan saya. Setelah kami mengubur burung itu, kakak saya meminta saya berdoa di atas ‘pusara’ sang burung. Saya diminta mendoakan agar burung tersebut masuk surga dan meminta maaf pada Tuhan karena saya sudah mencabut nyawa mahluk tak berdosa itu.
Kenangan masa kecil itu muncul kembali saat nenek saya menghembuskan nafasnya yang terakhir, seminggu lalu. Saya kembali kehilangan orang yang saya cintai. Setelah ayah, kakak, dan ibu, sekarang nenek. Tetapi, kali ini saya lebih siap. Setidaknya saya sudah menyiapkan hati dan mental.
Komaruddin Hidayat, dalam bukunya ‘Psikologi Kematian’, dengan sederhana menjelaskan arti kematian. Saya mendapatkan buku itu dari teman kantor yang ‘memaksa’ saya untuk membaca buku bagus tersebut. Dari sana saya menyadari arti kematian dan kesiapan kita untuk menerima dengan iklhas ketika orang-orang terdekat kita, orang-orang yang kita cintai, pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya.
Buku itu pula yang mendorong kesadaran saya untuk menengok nenek saya di Belanda ketika mendengar dia jatuh sakit. Bersama istri dan anak-anak, saya mengunjunginya di Arnhem, sebuah kota kecil di Belanda. Saya melihat air mata nenek menetes perlahan ketika saya memperkenalkan anak-anak saya satu per satu kepadanya. Air mata bahagia.
Dalam bukunya, Komaruddin menggambarkan dengan sangat baik perdebatan hati, antara mana yang ‘lebih menyenangkan’, mati mendadak atau mati dengan didahului sakit. Bagi mereka yang akan pergi, mati mendadak mungkin pilihan yang terbaik. Tanpa rasa sakit dan seketika.
Namun, bagaimana dengan mereka yang ditinggalkan? ‘’Ibarat seseorang yang hendak bepergian, lebih enak kenangannya kalau anggota keluarga diajak untuk ikut membuat persiapan dan ikut melepaskan. Bukankah peristiwa kematian tak ubahnya seperti orang mau bepergian?’’ Kata Komaruddin Hidayat.
Ungkapan yang luar biasa. Sebab banyak di antara kita yang tidak siap ketika menghadapi kenyataan orang-orang yang kita cintai harus pergi untuk selama-lamanya. Saya mungkin termasuk yang tidak siap ketika sahabat kecil saya harus pergi dan tidak pernah kembali. Kematian Eyen terlalu tiba-tiba. Itu sebabnya bayangan kematiannya selalu muncul dalam kehidupan saya. Berulang-ulang. Saya tidak sempat mengucapkan salam perpisahan pada Eyen. Tidak pernah ‘membuat persiapan untuk melepaskannya’. Ah, seandainya kita bisa selalu siap ‘melepaskan’ orang-orang yang kita cintai untuk selama-lamanya. Seandainya kita selalu siap ditinggalkan bahkan dalam keadaan mendadak sekalipun.
Maka saya bersyukur Tuhan masih memberi saya kesempatan untuk membuat ‘persiapan untuk melepaskan’ nenek saya. Malam itu, awal Januari lalu, di tengah suhu udara Belanda yang membeku, saya berdoa di samping tempat tidur nenek yang terbaring lunglai. Begitu khidmat, begitu personal. Seumur hidup itulah doa saya di depan nenek. Nenek yang dulu merawat saya ketika kecil. Doa terakhir sebelum kematian menjemputnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar