Bismilahirrohmannirrohim

Semoga selamat dan bahagia di dunia dan di akhirat

Kamis, 15 September 2011

Buku


Buku
Kamis, 28 Februari 2008 12:00 WIB
7202 Dibaca
Tools Box
Buku Saat menulis Andy’s Corner ini, saya sedang berada di sebuah café di sudut toko buku Borders di Sydney, Australia. Suasana café yang tidak begitu luas terasa hangat dan menyenangkan. Pengunjung café ada yang sibuk ngobrol, tapi lebih banyak yang asyik membaca. Saya betul-betul menikmati “oase” sore itu, di tengah hiruk pikuk kota Sydney. Sambil menyeruput capucino, pikiran saya menerawang ke rekaman Kick Andy episode “Dengan Hati Melihat Dunia”.
Di episode tersebut, Kick Andy menampilkan sejumlah tunanetra yang luar biasa. Dalam keterbatasan fisik, mereka tetap menjalani hidup dengan optimistis. Bahkan boleh dikatakan prestasi mereka melebihi orang normal. Rama, misalnya, walau buta sejak balita, ternyata mampu mengembangkan keahliannya sebagai sound enginer yang handal. Bahkan dia mendapat kepercayaan dari perusahaan animasi kartun Marios Bros di Jepang untuk mengerjakan ilustrasi musik untuk permainan komputer yang dikeluarkan perusahaan tersebut.
Di episode itu juga tampil empat tunanetra yang membuat situs Kartunet.com (Karya Tuna netra. com) yang berisi karya-karya para tunanetra. Namun yang menggangu pikiran saya saat ini adalah pernyataan Irwan Dwi Kustanto, salah satu tunanetra yang tampil di episode itu. Pada saat itu, Irwan yang mengalami kebutaan sejak usia sembilan tahun mengungkapkan perasaannya. Seakan mewakili perasaan para tunanetra lainnya, Irwan mengatakan walaupun oksigen begitu banyak di sekitar mereka, yang bebas dihirup kapan saja, toh mereka merasa sesak.
Perumpamaan itu dia utarakan untuk menggambarkan apa yang dirasakan para tunanetra berkaitan dengan buku. “Buku begitu banyak di sekitar kami, tetapi kami tidak bisa membacanya,” ujar Irwan, yang mengaku waktu mahasiswa terpaksa meminta teman-teman kuliahnya yang normal untuk membacakan buku baginya. Walau tidak persis seperti Irwan, ketika mahasiswa saya juga mengalami perasan yang sama. Buku ada di sekeliling saya, tapi tidak semua bisa saya baca atau miliki. Buku menjadi barang mewah.
Saya harus menabung sampai tiga bulan untuk bisa membeli sebuah buku. Jangankan untuk buku biasa, untuk buku wajib yang dipersyaratkan dosen saja tidak terbeli. Kadang ada kawan yang berbaik hati menggandakan buku-buku tersebut untuk saya. Kalau tidak ada, maka saya terpaksa harus ke perpustakaan Soemantri Brojonegoro di Kawasan Kuningan, Jakarta.
Hampir setiap hari saya menyalin isi buku sampai tangan pegal. Kalau petugas perpustakaan menawarkan jasa fotokopi, saya selalu mengelak. Mana saya punya uang untuk fotokopi? Saya ingat betul buku paling mahal yang pernah saya miliki waktu itu ada dua. Pertama, “Kamus Umum Bahasa Indonesia” (KUBI). Buku kedua adalah “100 Tokoh yang paling Berpengaruh di Dunia”.
Begitu berharganya kedua buku itu sehingga saya menyampulinya dengan plastik dan menyimpannya baik-baik. Sampai saya berhenti kuliah, yang berhasil saya beli dan jadikan “koleksi” tidak lebih dari 20 buku. Sejak itu, di bawah alam sadar saya, ada “dendam” yang terus mengikuti langkah saya. Suatu ketika nanti, jika mampu, saya akan membeli buku sebanyak-banyaknya. Begitu suara hati saya.
Akibatnya baru terasa belakangan. Sekarang hampir setiap minggu istri saya “sport jantung” melihat belanjaan buku saya. “Apa kamu sanggup membaca buku sebanyak itu dalam seminggu?” Tanya istri saya. Setelah mendengar cerita masa lalu saya, sekarang istri sudah bisa memahami dan “menutup mata” terhadap kebiasaan saya membeli buku. Walau dia tahu buku-buku itu tak akan habis terbaca bahkan dalam sebulan.
Jika sekarang, melalui Kick Andy, saya bisa membagi-bagi buku, maka tak terkata kebahagiaan saya. Apalagi jika buku itu jatuh ke tangan mereka yang betul-betul membutuhkan. Mereka yang merasa sesak di tengah oksigen yang melimpah. Mereka yang melihat begitu banyak buku di sekitarnya tetapi tak sanggup memiliki.
Pada awalnya, banyak penonton yang meragukan program bagi-bagi buku ini. Bahkan mereka yang beberapa kali mencoba mengikuti undian buku di website ini tapi tidak juga beruntung, menuduh program bagi-bagi buku gratis ini hanya akal-akalan alias penipuan. Saya nyaris menghentikan program bagi-bagi buku ini.
Untung teman-teman tim kreatif Kick Andy meminta saya untuk tidak cepat patah semangat. Dari cuma 40 buku yang dibagi pada awalnya, kini sudah 100 buku yang bisa diakses melalui website pada setiap episode. Ini di luar 300-an buku yang dibagikan kepada penonton di studio. Belakangan semakin banyak respon positif yang kami terima. Termasuk dukungan dari para penerbit.
Dendam” yang saya pendam bertahun-tahun kini mendapatkan salurannya. Karena itu, ketika sedang duduk di café di sudut toko buku Borders di Sydney, gairah saya meledak-ledak. Melihat orang-orang yang sedang asyik membaca membuat semangat saya kembali menyala-nyala. Suatu hari nanti, saya bermimpi, di setiap sudut kota, di setiap desa, di setiap kampung di Indonesia, saya melihat orang-orang yang sedang asyik membaca. Tidak perduli tua atau muda. Tidak perduli kaya atau miskin. Mereka membaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar