Buku
Kamis,
28 Februari 2008 12:00 WIB
7202
Dibaca
Tools
Box
Buku
Saat menulis Andy’s Corner ini, saya sedang berada di sebuah café
di sudut toko buku Borders di Sydney, Australia. Suasana café yang
tidak begitu luas terasa hangat dan menyenangkan. Pengunjung café
ada yang sibuk ngobrol, tapi lebih banyak yang asyik membaca. Saya
betul-betul menikmati “oase” sore itu, di tengah hiruk pikuk kota
Sydney. Sambil menyeruput capucino, pikiran saya menerawang ke
rekaman Kick Andy episode “Dengan Hati Melihat Dunia”.
Di
episode tersebut, Kick Andy menampilkan sejumlah tunanetra yang luar
biasa. Dalam keterbatasan fisik, mereka tetap menjalani hidup dengan
optimistis. Bahkan boleh dikatakan prestasi mereka melebihi orang
normal. Rama, misalnya, walau buta sejak balita, ternyata mampu
mengembangkan keahliannya sebagai sound enginer yang handal. Bahkan
dia mendapat kepercayaan dari perusahaan animasi kartun Marios Bros
di Jepang untuk mengerjakan ilustrasi musik untuk permainan komputer
yang dikeluarkan perusahaan tersebut.
Di
episode itu juga tampil empat tunanetra yang membuat situs
Kartunet.com (Karya Tuna netra. com) yang berisi karya-karya para
tunanetra. Namun yang menggangu pikiran saya saat ini adalah
pernyataan Irwan Dwi Kustanto, salah satu tunanetra yang tampil di
episode itu. Pada saat itu, Irwan yang mengalami kebutaan sejak usia
sembilan tahun mengungkapkan perasaannya. Seakan mewakili perasaan
para tunanetra lainnya, Irwan mengatakan walaupun oksigen begitu
banyak di sekitar mereka, yang bebas dihirup kapan saja, toh mereka
merasa sesak.
Perumpamaan
itu dia utarakan untuk menggambarkan apa yang dirasakan para
tunanetra berkaitan dengan buku. “Buku begitu banyak di sekitar
kami, tetapi kami tidak bisa membacanya,” ujar Irwan, yang mengaku
waktu mahasiswa terpaksa meminta teman-teman kuliahnya yang normal
untuk membacakan buku baginya. Walau tidak persis seperti Irwan,
ketika mahasiswa saya juga mengalami perasan yang sama. Buku ada di
sekeliling saya, tapi tidak semua bisa saya baca atau miliki. Buku
menjadi barang mewah.
Saya
harus menabung sampai tiga bulan untuk bisa membeli sebuah buku.
Jangankan untuk buku biasa, untuk buku wajib yang dipersyaratkan
dosen saja tidak terbeli. Kadang ada kawan yang berbaik hati
menggandakan buku-buku tersebut untuk saya. Kalau tidak ada, maka
saya terpaksa harus ke perpustakaan Soemantri Brojonegoro di Kawasan
Kuningan, Jakarta.
Hampir
setiap hari saya menyalin isi buku sampai tangan pegal. Kalau petugas
perpustakaan menawarkan jasa fotokopi, saya selalu mengelak. Mana
saya punya uang untuk fotokopi? Saya ingat betul buku paling mahal
yang pernah saya miliki waktu itu ada dua. Pertama, “Kamus Umum
Bahasa Indonesia” (KUBI). Buku kedua adalah “100 Tokoh yang
paling Berpengaruh di Dunia”.
Begitu
berharganya kedua buku itu sehingga saya menyampulinya dengan plastik
dan menyimpannya baik-baik. Sampai saya berhenti kuliah, yang
berhasil saya beli dan jadikan “koleksi” tidak lebih dari 20
buku. Sejak itu, di bawah alam sadar saya, ada “dendam” yang
terus mengikuti langkah saya. Suatu ketika nanti, jika mampu, saya
akan membeli buku sebanyak-banyaknya. Begitu suara hati saya.
Akibatnya
baru terasa belakangan. Sekarang hampir setiap minggu istri saya
“sport jantung” melihat belanjaan buku saya. “Apa kamu sanggup
membaca buku sebanyak itu dalam seminggu?” Tanya istri saya.
Setelah mendengar cerita masa lalu saya, sekarang istri sudah bisa
memahami dan “menutup mata” terhadap kebiasaan saya membeli buku.
Walau dia tahu buku-buku itu tak akan habis terbaca bahkan dalam
sebulan.
Jika
sekarang, melalui Kick Andy, saya bisa membagi-bagi buku, maka tak
terkata kebahagiaan saya. Apalagi jika buku itu jatuh ke tangan
mereka yang betul-betul membutuhkan. Mereka yang merasa sesak di
tengah oksigen yang melimpah. Mereka yang melihat begitu banyak buku
di sekitarnya tetapi tak sanggup memiliki.
Pada
awalnya, banyak penonton yang meragukan program bagi-bagi buku ini.
Bahkan mereka yang beberapa kali mencoba mengikuti undian buku di
website ini tapi tidak juga beruntung, menuduh program bagi-bagi buku
gratis ini hanya akal-akalan alias penipuan. Saya nyaris menghentikan
program bagi-bagi buku ini.
Untung
teman-teman tim kreatif Kick Andy meminta saya untuk tidak cepat
patah semangat. Dari cuma 40 buku yang dibagi pada awalnya, kini
sudah 100 buku yang bisa diakses melalui website pada setiap episode.
Ini di luar 300-an buku yang dibagikan kepada penonton di studio.
Belakangan semakin banyak respon positif yang kami terima. Termasuk
dukungan dari para penerbit.
“Dendam”
yang saya pendam bertahun-tahun kini mendapatkan salurannya. Karena
itu, ketika sedang duduk di café di sudut toko buku Borders di
Sydney, gairah saya meledak-ledak. Melihat orang-orang yang sedang
asyik membaca membuat semangat saya kembali menyala-nyala. Suatu hari
nanti, saya bermimpi, di setiap sudut kota, di setiap desa, di setiap
kampung di Indonesia, saya melihat orang-orang yang sedang asyik
membaca. Tidak perduli tua atau muda. Tidak perduli kaya atau miskin.
Mereka membaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar