Bismilahirrohmannirrohim

Semoga selamat dan bahagia di dunia dan di akhirat

Kamis, 15 September 2011

IBU ANA


Ibu Ana
Jumat, 01 Agustus 2008 07:11 WIB
19831 Dibaca
Tools Box
Mata rasanya memerah. Buram oleh air mata. ‘’Bu Ana, sekian lama saya mencari ibu. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih.’’ Kalimat itu keluar terbata-bata dari mulut saya.

Tiga puluh lima tahun lamanya kami berpisah. Akhir tahun 1972 saya meninggalkan kota Malang menuju Jayapura. Itulah saat terakhir saya melihat Ibu Ana. Waktu itu dia mengajar di kelas empat SD Sang Timur, Malang. Saya salah satu muridnya.

Perempuan bertubuh kurus ringkih itu begitu berarti dalam hidup saya. Di antara guru yang pernah mengajar saya, Ibu Ana menempati sudut istimewa di relung hati saya. Sifatnya yang lembut, tutur katanya yang halus, dan perhatiannya pada murid-murid membuat Ibu Ana spesial di mata murid-muridnya.

Setiap anak mungkin punya kenangan. Tak terkecuali saya. Saya merasakan cinta seorang guru yang luar biasa terpancar dari matanya. Cinta yang membuat saya bersemangat walau tumbuh dalam keluarga ‘broken home’.

Dalam beberapa semester nilai saya tertinggi di kelas. Waktu itu murid yang nilainya tertinggi mendapat gelar ‘’bintang kelas’’. Pada akhir tahun pelajaran di SD Sang Timur selalu diadakan pemilihan ‘bintang di antara bintang’. Para bintang kelas diadu untuk menentukan siapa yang terbaik. Mereka dikumpulkan dan diuji. Siapa mendapat nilai terbaik akan dinobatkan sebagai ‘bintangnya bintang’.

Suatu hari, ketika saya tidak sekolah karena sakit, beberapa teman sekelas datang ke rumah. Mereka bilang diutus Ibu Ana. Lusa akan ada kompetisi para bintang. Saya ditunjuk mewakili kelas. Mendengar itu saya pucat. Hati merasa gentar. Sebab belakangan saya kerap membolos sehingga tertinggal banyak pelajaran. Saya takut tidak mampu mengerjakan soal-soal yang akan diujikan. Tetapi, menurut teman-teman, penunjukkan saya sudah final.

Ketika saya dalam keadaan bimbang, sorenya Bu Ana datang ke rumah, naik becak. Bu Ana meyakinkan bahwa saya pasti bisa. Bahkan sore itu dia meluangkan waktu mengajari saya pelajaran yang tidak saya ikuti. Dia ingin agar besok saya tampil prima.
Esoknya, dengan perasaan tidak karuan, saya ke sekolah. Perut mules. Rasanya ingin menangis dan lari pulang. Saya tidak siap. Selama mengerjakan soal, keringat dingin terus mengucur. Begitu banyak soal yang tidak bisa saya jawab. Sementara para kompetitor terlihat asyik mengerjakan soal demi soal.

Beberapa kali saya bertanya pada suster penjaga apakah soal-soal yang tertulis sudah benar atau ada kekeliruan? Setiap kali jawaban suster: Semuanya sudah benar. Barulah saya sadari begitu banyak pelajaran yang diujikan saat itu belum saya pahami. Maklum, terlalu sering bolos.

Singkat kata, saya gagal memenangi kompetisi antar-bintang itu. Ada perasaan malu. Tetapi perasaan bersalah lebih kuat. Saya telah mengecewakan teman-teman satu kelas, terutama Ibu Ana yang waktu itu begitu yakin saya akan menang.
Pada saat seperti itulah saya merasakan kasih seorang guru. Ibu Ana berkali-kali membesarkan hati saya agar tidak merasa bersalah. “Kamu anak pandai. Suatu hari kelak kamu akan berhasil,” kalimat itu mengalir tulus dari Ibu Ana. “Dengan kepandaiannmu mengarang, nanti besar kamu bisa jadi pengarang atau wartawan.”

Saat itu saya belum mengenal kata “wartawan”. Tahun-tahun sesudah itu saya masih memahami kata “wartawan” itu sebagai “hartawan”.
Kepada ibu saya, saya pernah bertanya apa arti “hartawan”. Katanya, jika seseorang memiliki banyak harta, orang kaya, itulah hartawan. Sejak itu saya ingin jadi orang kaya.

Saat duduk di bangku STM, kata ‘wartawan’ muncul lagi. “Dengan minat dan kepandaianmu menulis, kamu lebih cocok jadi wartawan”. Begitu kata guru bahasa Indonesia saya. Maka, ketika tamat STM, saya lebih memilih sekolah di Sekolah Tinggi Publisitik ketimbang menerima beasiswa di IKIP Padang.

Suatu hari, ketika saya diminta untuk berbicara tentang jurnalisitik di depan sejumlah aktivis gereja-gereja, ada seorang peserta, guru SD, yang bertanya bagaimana caranya menumbuhkan minat menulis pada murid-murid SD. Pertanyaan itu segera mengingatkan saya pada Ibu Ana.

Saya lalu menceritakan kisah Ibu Ana di atas, yang menginspirasi saya hingga memilih wartawan sebagai profesi. Bidang yang membuat saya bahagia sampai saat ini.

Lama saya mencari Ibu Ana. Sejak tamat STM sudah beberapa kali saya ke Malang mencarinya. Bahkan ketika saya sudah menjadi Pemimpin Redaksi Media Indonesia dan Metro TV, upaya pencarian terus berlanjut. Bahkan pernah saya dan sahabat sebangku saya waktu SD dulu, Yohanes Widodo, ikut mencari Ibu Ana.

Saya sungguh-sungguh ingin bertemu Ibu Ana. Ingin mengucapkan terima kasih atas apa yang dia berikan kepada saya ketika SD dulu. Belakangan saya baru menyadari banyak kata-kata dan dorongannya yang membuat saya seperti sekarang. Bukan dalam konteks jabatan atau harta, tetapi lebih karena sekarang saya bahagia sebagai wartawan. Profesi yang sudah ‘’diramalkan’’ oleh Ibu Ana ketika saya masih di bangku SD dulu.

Pencarian yang panjang akhirnya berbuah juga. Ketika cerita tentang Ibu Ana saya tulis di Andy’s Corner dan dimuat di website KickAndy.com, datang respon dari Iwan Gunawan melalui face book saya. Dia mengaku juga mengenal Ibu Ana karena juga pernah menjadi murid Ibu Ana. Melalui Iwan saya akhirnya mendapatkan alamat dan nomor telepon Ibu Ana. Sungguh tak terperi rasa di hati ketika akhirnya saya mendengar suara Ibu Ana di ujung telepon. ‘’Ibu, lama saya mencari ibu. Saya ingin mengucapkan terima kasih.’’ Di ujung telepon saya mendengar suara perempuan, yang dalam usianya memasuki 67 tahun, masih bersemangat. ‘’Ibu hanya menjalankan tugas seorang guru,’’ ujar Ibu Ana.

Kebahagiaan saya semakin lengkap ketika akhirnya Ibu Ana memenuhi undangan saya untuk hadir pada acara re-branding Kick Andy di studio Metro TV di Jakarta. Pada acara itu buku Andy’s Corner juga diluncurkan. Di dalam buku itu ada cerita tentang Ibu Ana. Cerita tentang seorang guru yang sangat berjasa dalam kehidupan saya. Betapa bahagianya hati saya ketika buku perdana Andy’s Corner itu bisa saya serahkan langsung ke tangan guru yang saya cintai, Ibu Ana. Di depan penonton di studio, air mata saya jatuh. Air mata bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar