Montir
Mesin Tik
Selasa,
10 April 2007 12:00 WIB
1886
Dibaca
Tools
Box
Saya
malu punya ayah tukang betulin mesin tik. Karena itu saya paling
benci kalau ada yang bertanya apa pekerjaan orangtua saya. Kalau
bisa, saya mencoba menghindar untuk menjawab. Jika terdesak saya
bilang ayah saya polisi. Kadang saya menyesal lahir sebagai anak
seorang tukang servis mesin tik. Apalagi kalau kawan-kawan sekolah
saya mulai saling membanggakan profesi ayah mereka. Apa yang
dibanggakan dari seorang montir mesin tik? Pekerjaan yang tidak
membutuhkan kecakapan istimewa. Modalnya juga cuma peralatan obeng,
tang, solder, dan cat semprot. Tubuhnya yang kurus dan ringkih,
berbalut kemeja sederhana lengan pendek, dengan tas kulit kumal di
bahunya, sungguh jauh dari sosok ayah yang ideal.
Tapi,
di luar profesinya, ayah sangat humoris. Tiada hari tanpa tawa.
Bahkan kepahitan hidup pun ditertawakannya. Di mana ayah berada,
suasana selalu ceria. Dia suka betul bercerita. Kebanyakan
cerita-cerita lucu. Entah dari mana dia mendapatkan bahan lelucon
yang tak habis-habisnya. Saya hidup dalam kontradiksi itu. Dari
cerita ayah, dulu dia teknisi di perusahaan perikanan. Hidup layak.
Gaji cukup. Tetapi sifatnya yang terbuka, riang, dan pandai dansa
membuat ibu cemburu. Ibu berasal dari keluarga yang berpendidikan
baik.
Ketika
mereka menikah, ibu harus rela mengorbankan kehidupannya dan masuk
dalam kehidupan ayah yang pendidikannya kurang tinggi. Maka terjadi
benturan-benturan. Ibu yang merasa sudah berkorban, sangat cemburu
melihat ayah selalu dikerumuni wanita. Sifatnya yang periang,
terbuka, dan pandai berdansa waktu itu membuat ayah sangat populer.
Akibat cemburu, ibu mulai membatasi ruang gerak ayah. Bahkan sampai
kepada pekerjaan. Akhirnya karir ayah berantakan. Di hari tua ibu
menyesali sifatnya. Tapi ayah tidak terlalu mempersoalkan. Dia tetap
menikmati hidup. Bekerja sebagai montir mesin tik tidak membuat
martabatnya jatuh dan keceriaannya pupus.
Sampai
suatu ketika, penyakit mulai menggerogoti tubuhnya. Fisiknya tak
mampu lagi menopang semangatnya. Dia lebih banyak tiduran ketimbang
bekerja. Sesekali, dengan sisa-sisa tenaga, dia memaksa bekerja.
Suatu hari ayah mengalami kesulitan. Saya berniat membantu tapi
dihardik. Dia meminta saya tidak menyentuh satu pun mesin tik yang
ada. “Tugasmu sekolah. Konsentrasi pada pelajaran,“ ujarnya
dengan mata sedikit melotot. Sungguh saya tidak mengerti. Harusnya
dia berterima kasih. Ayah akhirnya meninggal. Dia kalah oleh penyakit
dan juga teknologi. Menjelang akhir hayatnya, ada beberapa mesin tik
elektrik yang tak dia sentuh. Masa transisi mesin tik manual ke
elektrik adalah masa transisi kehancuran ayah (Saya tidak bisa
membayangkan bagaimana gundahnya ayah jika dia melihat mesin tik saat
ini sudah berkembang menjadi teknologi komputer yang super canggih).
Kini,
30 tahun setelah ayah tiada, saya baru menyadari banyak sekali nilai
yang dia tanamkan. Nilai yang paling kuat adalah nikmati hidupmu.
Hampir dalam setiap kesusahan, ayah selalu berusaha melihat sisi
positifnya. “Hidup ini indah. Jangan sia-siakan,“ begitu
nasihatnya berkali-kali. Pantang mengeluh. Itu nilai lain yang dia
tekankan.
Apa
pun pekerjaanmu, kerjakan dengan hati. Jangan mengeluh dan mencerca
perusahaan tempatmu bekerja, tapi tetap menerima gaji setiap bulan.
Setelah dewasa, saya semakin menyadari bahwa pelajaran hidup dan
nilai-nilai yang baik bisa lahir dari siapa saja. Kisah Buyung yang
buta dan ibunya yang papa, yang pernah diangkat di Kick Andy,
ternyata mampu menyadarkan kita tentang arti perjuangan pantang
menyerah.
Suster
Apung di Sulawesi menebar nilai dedikasi tanpa pamrih sementara Pak
Sariban di Bandung, orang tua yang diejek gila, mengajarkan kecintaan
dan penghargaan pada lingkungan. Mereka hanya tiga dari sekian banyak
“orang kecil“ yang pernah tampil di Kick Andy, yang mampu membuka
mata dan hati kita.
Saya
merasa kehilangan sahabat ketika ayah saya menghembuskan nafas
terakhir tepat di pangkuan saya. Banyak ajaran-ajaran yang dia
tanamkan yang baru saya sadari nilainya setelah kepergiannya. Rasanya
ingin waktu bisa diputar kembali. Agar ayah tahu saya bangga padanya.
Agar saya bisa menghargai dia bukan dari profesinya, tapi dari
nilai-nilai hidup yang dia ajarkan. Saya bangga pada ayah saya. Walau
dia hanya montir mesin tik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar