Laskar
Pelangi
Rabu,
10 Oktober 2007 12:00 WIB
5386
Dibaca
Tools
Box
Komentar
dari penonton datang bak air bah. Ini salah satu episode Kick Andy
yang mendapat respon paling banyak. Rata-rata mengatakan tayangan
tersebut memberikan pencerahan bagi hati. Sebagian dari penonton --
bahkan yang belum membaca buku Laskar Pelangi -- mengaku pengalaman
Andrea Hirata, sang penulis, sungguh memberi inspirasi bagi hidup
mereka. Lebih dramatis lagi, banyak yang sejak menonton episode
Laskar Pelangi berjanji untuk mengubah total pandangan hidup mereka.
Dari putus asa menjadi penuh harapan. Dari negatif menjadi positif.
Dari masa bodoh menjadi perduli pada sesama.
Hati
saya melompat-lompat membaca satu demi satu komentar yang masuk. Dada
rasanya sesak. Sebegitu hebatkah dampak yang dirasakan penonton?
Padahal
Andrea sejak awal tidak meniatkan cerita masa kecilnya itu dibukukan.
Anak kampung di sebuah Pulau bernama Belitong ini mulanya hanya ingin
menuliskan kisah itu sebatas kenangan atas persahabatan yang tulus
dari sepuluh murid SD di sebuah sekolah yang bangunannya nyaris
roboh. Juga untuk penghormatannya pada seorang guru yang penuh
pengabdian walau 15 tahun tidak digaji.
Cerita
tentang sepuluh anak SD yang sekolahnya merangkap kandang ternak ini,
dan nyaris ditutup karena jumlah muridnya tidak mencapai sepuluh,
ternyata berdampak luar biasa bagi sebagian pembacanya.
Seorang
ibu di Bandung mengirim surat agar kisah nyata itu diangkat di Kick
Andy. Anak sang ibu, yang terjerat narkoba dan nyaris tidak bisa
lolos dari perangkap barang jahanam itu, ternyata mampu bangkit
melawan dan sembuh dari ketergantungan setelah membaca Laskar
Pelangi.
Moral
cerita yang ditangkap dari kisah Laskar Pelangi adalah kemauan keras
dari sepuluh anak-anak itu, dan juga guru mereka, untuk tidak takluk
oleh keadaan yang mereka hadapi. Dalam keterbatasan -- atap sekolah
bocor jika hujan dan papan tulis bolong yang harus ditambal poster
Rhoma Irama -- tidak mematahkan semangat belajar mereka.
Jika
kemudian tokoh Lintang yang digambarkan cerdas luar biasa harus
terhempas, itu lebih karena faktor di luar kemampuan Lintang untuk
melawannya. Sepeninggal ayahnya, nelayan miskin yang harus menghidupi
14 anggota keluarga, Lintang terpaksa berhenti sekolah. Kandas di
bangku SMP.
Nasib
saya seperti Lintang, sekolah kandas di tengah jalan. Setelah
kematian ayah, tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah. Tak ada
harta dan uang yang ditinggalkan seorang montir mesin tik. Kakak
perempuan dengan keterbatasannya mencoba menampung dan membiayai,
walau akhirnya menyerah juga. Saya kandas di tingkat tiga bangku
kuliah. Drop out. Tapi masih lumayan dibandingkan nasib Lintang.
Saya
mensyukuri hidup karena kini saya menekuni pekerjaan yang saya
cintai. Perjalanan untuk menjadi wartawan memang berliku. Tapi ada
dua orang yang paling berjasa dalam memberikan pedoman dalam hidup
saya.
Pertama,
Ibu Ana, guru saya di SD Sang Timur, Malang. Dialah yang membangun
rasa percaya diri saya sebagai kanak-kanak yang tumbuh dalam keluarga
broken home. Di bawah bimbingannya hampir setiap kwartal saya juara
kelas. Dialah sosok yang mampu memahami dan meredam kenakalan saya.
Sampai
suatu hari sifat pemberontak saya kambuh. Saya malas sekolah. Hampir
setiap minggu bolos. Saya lebih suka main bola dengan anak-anak
kampung di pinggir stadion ketimbang ke sekolah.
Suatu
hari Ibu Ana ke rumah. Sudah dua hari saya tidak masuk sekolah. Dia
mencarter becak untuk mencari alamat saya. Bu Ana meminta agar besok
saya masuk. Ada lomba antar-bintang kelas. Dia meminta saya mewakili
kelas kami. Saya tidak siap tapi Bu Ana terus mendorong.
Pada
harinya saya kalah. Sering bolos membuat banyak pertanyaan tidak
mampu saya jawab. Bu Ana tidak marah, juga tidak kecewa. Dia
mengatakan tetap bangga pada saya. 'Ibu yakin kelak kamu akan
berhasil. Setidaknya dengan bakatmu, kamu bisa jadi penulis,'
ujarnya. Waktu itu saya tidak paham. Saya belum punya cita-cita. Tapi
pernyataan Bu Ana itu, sekian tahun kemudian, menjadi penentu saat
saya menetapkan pilihan karir sebagai wartawan.
Orang
kedua yang berjasa 'menggiring' saya menjadi wartawan adalah Pak
Bowo, guru bahasa Indonesia saya di STM Jayapura. Dia guru dadakan
karena guru bahasa Indonesia mengundurkan diri. Suatu hari diadakan
lomba mengarang tingkat SLTA/SMU se-Jayapura. Pada hari terakhir
pendaftaran, karena tidak ada wakil STM yang ikut, Pak Bowo meminta
saya mendaftar. Karangan harus masuk hari itu juga. Maka sepulang
sekolah, dia menemani saya menyiapkan karangan. Bahkan mengurus makan
siang saya. Padahal selama ini murid-murid STM mengenalnya sebagai
guru yang galak dan "tidak punya hati".
Sore
hari, menjelang batas akhir pengumpulan karangan, dengan vespa tua
miliknya Pak Bowo mengantarkan sendiri karangan itu ke panitia. Dia
sangat bersemangat. Sebelum kami berpisah, saya masih ingat
ucapannya, 'Kamu punya bakat menulis. Mungkin kamu lebih cocok jadi
wartawan.'
Sejak
itu pikiran saya selalu terobsesi untuk menjadi wartawan. Lulus
sebagai juara umum dengan nilai terbaik di STM 6 Jakarta, saya berhak
atas beasiswa ke IKIP Padang. Tapi saya memilih untuk melanjutkan ke
Sekolah Tinggi Publisistik. Hati saya sudah mantap. Saya ingin jadi
wartawan.
Sekian
tahun kemudian, beberapa kali saya mencoba mencari Bu Ana. Bahkan
dengan bantuan teman di SD dulu. Tapi hasilnya nihil. Begitu juga Pak
Bowo. Alamatnya tak terlacak. Saya ingin bertemu mereka. Saya ingin
mengucapkan terima kasih. Mereka telah menunjukkan arah bagi karier
dan kehidupan saya. Kehidupan yang membuat saya sekarang bahagia.
Sangat bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar