Prinsip
Minggu,
02 September 2007 12:00 WIB
2364
Dibaca
Tools
Box
Sepanjang
hidup saya, dua kali saya memukul perempuan. Pertama, ketika saya
berada dalam masa-masa pembangkangan terhadap orangtua, saat saya
berusia 13 tahun. Kedua, ketika mobil saya diserempet mobil yang
dikemudikan seorang remaja perempuan.
Peristiwa
pertama terjadi ketika saya -- yang sedang emosi -- memukul dengan
keras dada kakak perempuan saya. Dia langsung terduduk dan nyaris
tidak bisa bernafas. Saya pucat. Kaki saya gemetar. Sungguh saya tak
menduga pukulan seorang bocah bisa berakibat seperti itu.
Peristiwa
yang berlangsung sekejap itu ternyata punya dampak luar biasa.
Sepanjang hidup saya bayang-bayang kejadian itu tidak bisa hilang
dari ingatan saya. Sulit rasanya memaafkan diri sendiri. Setelah
peristiwa tersebut saya berjanji dalam hati untuk tidak akan pernah
memukul wanita dalam hidup saya. Siapa pun dia. Janji yang saya
pegang teguh bertahun-tahun. Bahkan hingga saya menikah. Dalam
perkawinan saya yang menginjak 22 tahun, tak sekalipun saya bersikap
kasar pada istri. Apalagi melakukan kekerasan fisik. Pantang bagi
saya mengulang kesalahan masa lalu.
Tapi,
suatu hari, tujuh tahun lalu, saya gagal memegang janji itu. Saat
sedang mengemudi mobil, sepulang kerja, tiba-tiba sebuah mobil
memaksa menyalip dan menyerempet mobil saya. Cukup keras untuk sebuah
serempetan. Tapi, seakan tidak bersalah, mobil tersebut tetap saja
meluncur. Saya mencoba memberi isyarat dengan klakson, mobil tersebut
tak perduli. Emosi saya mulai terbakar.
Padahal
selama ini ada satu prinsip dalam hidup saya dalam berkendaraan. Jika
mobil saya diserempet, saya akan memaafkan sang penyerempet. Sebab
saya yakin tidak seorang pun pengemudi normal yang ingin
menyerempetkan mobilnya ke mobil orang lain. Jika itu terjadi, maka
pastilah karena ketidaksengajaan. Lalu mengapa harus buang-buang
energi untuk bersitegang? Mobil toh bisa dibawa ke bengkel,
diperbaiki, dan semua akan normal kembali. Toh saya sudah bayar
asuransi untuk ongkos perbaikan. Anda boleh setuju, boleh tidak.
Satu
hal lagi, saya percaya karma. Beberapa kali saya juga lalai dan
menyerempet mobil lain, boleh percaya boleh tidak, semuanya berakhir
damai. Nyaris tidak perlu tarik urat leher. Mereka memaafkan saya.
Hidup rasanya menyenangkan.,/p>
Lebih
ekstrim lagi, suatu hari, mobil saya ditabrak hingga lampunya pecah.
Begitu melihat pengemudinya perempuan yang tampak ketakutan, saya
segera berlalu tanpa merasa perlu mempersoalkannya. Apa yang terjadi?
Hari itu istri saya menabrak mobil orang hingga lampunya pecah dan
orang tersebut memaafkan istri saya tanpa minta ganti rugi sepeser
pun. Sekali lagi, boleh percaya, boleh tidak.
Tapi,
entah karena sedang dalam kondisi lelah atau juga karena mobil yang
menyerempet saya tidak berhenti untuk meminta maaf, saya emosi. Pada
saat terjebak lampu merah, saya turun dan menghampiri mobil tersebut.
Ternyata pengemudinya seorang remaja putri. Ketika saya jelaskan
bahwa dia baru saja menyerempet mobil saya, dengan cueknya dia bilang
tidak merasa. Entah setan apa yang merasuki pikiran saya, atau
mungkin jengkel melihat gayanya yang menyebalkan, pipinya saya
tempeleng. Tidak keras memang, tapi tetap saja hari itu saya
melanggar sumpah yang selama ini saya pegang teguh. Sesal kemudian
tidak berguna.,/p.
Maka,
saya termasuk yang paling bersemangat mengangkat tema kekerasan dalam
rumahtangga di Kick Andy. Sulit bagi saya memahami bagaimana seorang
suami mampu melakukan kekerasan terhadap istri atau anak-anak mereka,
yang secara fisik umumnya lebih lemah. Saya menyadari banyak
laki-laki yang menggunakan kekuatan fisik ketika merasa kalah dalam
adu argumentasi dengan sang istri. Menggunakan kekuatan fisik adalah
jalan pintas bagi kebanyakan pria untuk menutupi kelemahannya.
Karena
itu, ketika saya diminta menjadi hakim bagi pertengkaran rumahtangga
kakak laki-laki saya, saya terpaksa menganjurkan jalan perceraian.
Sulit bagi saya untuk membela kakak yang sering ringan tangan.
Keputusan yang berat, tentu, karena menyangkut anak-anak mereka
sebagai korban. Kakak saya juga sulit memahami jalan pikiran saya.
Tapi, untuk hal yang satu ini, ternyata saya lebih setia pada
prinsip.
Prinsip
yang saya perjuangkan sejak usia 13 tahun (walau pernah sekali gagal
mempertahankannya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar