Biskuit
Lebaran
Minggu,
14 September 2008 12:34 WIB
18583
Dibaca
Tools
Box
Ketika
malam semakin larut, satu per satu penumpang mulai terlelap. Tidak
terkecuali keluarga yang sedang kami jadikan target. Setelah yakin
semua sudah tertidur, kami mulai mengendap-endap mendekati sasaran.
Dalam hitungan detik kaleng biskuit itu berpindah tangan. Biskuit itu
kami curi. Di kegelapan, di dekat cerobong asap, biskuit itu kami
lahap dengan penuh selera. Sesekali diselingi tawa. Kami menertawakan
‘kebodohan’ pemilik biskuit. Bodoh karena tidak menyimpan dengan
baik ‘barang berharga’ tersebut.
Malam
itu juga isi kaleng ludes tanpa bekas. Pindah ke perut kami.
Nikmatnya luar biasa. Pelayaran sudah memasuki hari kedelapan.
Makanan jatah kapal mulai sulit masuk ke tenggorokan. Uang sudah
habis. Kami mulai kelaparan. Kami membutuhkan sesuatu yang lebih dari
sekadar nasi dan seonggok kangkung rebus tanpa garam yang menjadi
menu harian selama pelayaran.
Saya
sedang dalam perjalanan dari Jayapura menuju Jakarta. Beberapa minggu
setelah ayah meninggal, pertengahan 1978, saya terpaksa meninggalkan
Papua. Sekolah terancam putus karena tidak ada biaya. Kakak perempuan
saya, yang tinggal di Jakarta, menawari bantuan biaya sekolah dan
tempat tinggal. Maka berangkatlah saya menuju Ibu Kota.
Kapal
PELNI yang saya tumpangi sebenarnya bukan khusus untuk penumpang.
Kapal itu hanya menyediakan sejumlah kamar, sisanya geladak terbuka
yang di bagian bawahnya berisi barang-barang angkutan. Mulai dari
beras, gula, kayu, solar, sampai semen. Jumlah kamar yang terbatas
membuat sebagian penumpang harus rela tidur di atas geladak
beralaskan terpal. Jika kapal berlayar, bagian atas geladak itu
ditutupi terpal untuk melindungi penumpang dari panas dan hujan.
Setiap singgah di pelabuhan, muatan dibongkar. Penumpang yang tidur
di atas geladak silakan menyingkir sejenak, sampai urusan
bongkar-muat selesai. Namun setelah palka ditutup, biasanya terjadi
perebutan untuk mengkapling-kapling wilayah ‘jajahan’ di atas dek
itu. Biasanya terjadi adu mulut. Siapa kuat dia menang.
Mereka
yang sudah berhasil mendapatkan wilayah kekuaaan, biasanya mematok
daerah kekuasaannya itu dengan ‘pagar’ berupa barang-barang
bawaan mereka. Koper, tikar, bantal, kursi lipat, rantang, panci,
ember, dan gayung dijadikan ‘pagar’ . Pokoknya barang apa saja
yang bisa digunakan akan dipakai sebagai pembatas teritorial.
Persoalannya,
di setiap pelabuhan selalu ada penumpang yang naik. Penumpang baru
biasanya tidak mau tahu soal batas teritorial ini. Mereka mencoba
membuat batasan baru. Maka di sinilah sumber percekcokan. Adegan yang
sama akan berulang-ulang di setiap pelabuhan. Begitu kegiatan
bongkar-muat selesai, penumpang berebut menggelar tikar dan mematok
batas teritorinya. Semakin lama batas teritorial ini semakin kecil.
Sebab kalau penumpang baru yang naik itu ‘orang kuat’, misalnya
anggota TNI, Polisi, atau keluarga Anak Buah Kapal (ABK), biasanya
terjadi kompromi, yakni berbagi teritori. Sebenarnya kakak ipar saya
yang bekerja di PELNI menitipkan saya pada sejawatnya di kapal itu.
Tetapi karena merasa tidak enak hati tinggal di kamarnya yang sempit,
dan mengganggu privasi sang sejawat, saya memilih tidur di dek. Saya
bergabung dengan beberapa pemuda yang juga dalam perjalanan menuju
Jakarta. Jayapura ke Jakarta memakan waktu lima belas hari. Dari
Jayapura biasanya singgah di Biak – Sorong – Ambon - Makassar –
Surabaya – baru tiba di Jakarta.
Biasanya,
di antara penumpang ada yang tanpa tiket. “Penumpang gelap” ini
biasanya dengan segala cara menyelundup naik ke kapal. Lalu setelah
di atas bagaimana? Tidak usah khawatir. Cukup ‘main mata’ dengan
membayar ‘uang makan’ ke ABK, semua urusan beres. Tentu lebih
murah ketimbang membeli tiket. Pokoknya tahu sama tahu. ABK toh
manusia juga.
Saya
termasuk penumpang tanpa tiket. Penumpang titipan. Tidak usah bayar
tiket. Tetapi selama pelayaran, urusan makan ditanggung sendiri. Maka
cara yang paling murah adalah membayar langsung ke koki di dapur.
Sudah bukan rahasia penumpang tanpa tiket, agar mendapat jatah makan,
membayar langsung ke koki. Biasanya bayar di muka sesuai jarak
perjalanan. Menunya sama dengan penumpang yang bertiket. Cuma memang
harus sabar karena pada jam pembagian makan, penumpang bertiket dulu
yang dilayani. Mereka yang membayar ke koki harus menunggu sampai
semua penumpang terlayani. Setelah itu baru koki akan membagikan
‘makanan sisa’ kepada penumpang khusus ini. Asyiknya, seringkali
jatah untuk penumpang khusus ini lebih banyak dan kadang dapat bonus
daging rebus atau telor ceplok.
Menu
harian hanya sepiring nasi, kangkung rebus yang rasanya aneh karena
dimasak secara massal, plus sepotong kecil telur dadar. Itu-itu saja
dari hari ke hari. Lima hari pertama, makanan itu masih bisa masuk ke
tenggorokan. Lebih dari itu, pandai-pandailah menggunakan imajinasi.
Jika tidak, silakan kelaparan.
Bagi
mereka yang punya cukup uang, bisa memilih makan di warung di bagian
perut kapal. Sejumlah pedagang asal Makassar dan Padang rupanya jeli
melihat peluang bisnis. Penumpang yang sudah tidak tahan menyantap
menu kangkung rebus dan telur dadar tadi adalah sasaran mereka.
Terapung-apung selama belasan hari bisa membuat orang frustasi.
Apalagi jika makanan jatah mulai membuat perut mual sebelum
menelannya. Maka pikiran jahat biasanya mulai menggoda. Godaan yang
sering tak tertahankan.
Itulah
yang terjadi pada saya dan teman-teman. Sekelompok pemuda dengan uang
pas-pasan. Untuk mengisi waktu biasanya kami bermain kartu, bernyanyi
diiringi gitar, atau cuma ngobrol sampai larut malam.
Bermula
pada suatu malam, ketika perut mulai keroncongan, seorang di antara
kami mulai iseng mencuri makanan milik penumpang lain. Tidak sulit
karena makanan itu biasanya cuma diletakkan sebagai pembatas teritori
tadi. Sasaran yang empuk dan sangat mudah.
Dari
keberhasilan satu ke sukses lain membuat kami jadi terbiasa. Setiap
malam satu per satu makanan penumpang lain kami curi. Sasaran kami
terutama mereka yang baru naik, yang belum mengenal situasi. Selain
itu, penumpang baru biasanya membawa banyak makanan persediaan untuk
perjalanan.
Suatu
hari, saat kapal singgah di Sorong, naik satu keluarga terdiri dari
seorang kakek, anak, menantu, dan dua cucunya. Mereka keluarga
transmigran yang hendak pulang ke Jawa. Mata kami berbinar-binar
melihat barang bawaan mereka. Teruama sebuah kaleng biskuit Khong
Guan yang mereka tenteng. Dari fisiknya, kami segera tahu itu kaleng
baru, yang belum dibuka. Artinya, sebentar lagi kami akan berpesta
biskuit.
Saat
yang ditunggu tiba. Malam hari, ketika mereka terlelap, kami mulai
beraksi. Dengan mudah kaleng biskuit itu berpindah tangan. Di atas
anjungan, di kegelapan, kami berpesta pora. Dalam hitungan menit isi
biskuit tandas. Kalengnya kami lempar ke laut. Setelah itu kami
tertidur pulas. Pagi hari terjadi keributan. Geger. Keluarga tersebut
sibuk bertanya ke sana ke mari perihal biskuit mereka. Tidak seorang
pun yang ditanya bisa memberi info. Kalaupun ada yang tahu, mereka
tentu tidak mau mencari-cari perkara dan harus berurusan dengan
sekelompok anak muda yang sedang kelaparan.
Setelah
lelah mencari dan bertanya, keluarga itu akhirnya menyerah. Pasrah.
Wajah mereka tampak masgul. Begitu memelas. Sang kakek bahkan
menangis. Pada saat itu saya baru tersadar betapa biskuit itu punya
arti luar biasa bagi keluarga itu. Mata saya juga seakan baru
terbuka. Melihat penampilan mereka, dari pakaian dan koper yang
dibawa, jelas kondisi ekonomi mereka jauh dari sejahterah.
Dari
hasil menguping, ternyata mereka transmigran asal Trenggalek, Jawa
Timur, yang hendak pulang kampung untuk Lebaran. Dengan segenap
kemampuan mereka mengumpulkan uang untuk membeli tiket ‘kelas dek’.
Sementara sang kakek menguras uang tabungannya demi sekaleng biskuit
merek Khong Guan.
Cucu
sang kakek setiap hari merengek meminta agar diperkenankan membuka
kaleng dan menikmati biskuit di dalamnya. Namun sang kakek berusaha
membujuk agar kedua cucunya bersabar. Jika tiba waktunya tentu
diperbolehkan menikmati biskuit itu sepuasnya. Waktu yang dijanjikan
itu adalah saat Lebaran nanti. Selain Lebaran memang hari yang
istimewa, rupanya keluarga tersebut juga ingin ‘memamerkan’ lebih
dulu biskuit tersebut kepada tetangga mereka di kampung. Keluarga itu
ingin menunjukkan kepada warga desa betapa mereka sudah ‘berhasil’
di tanah rantau. Simbol keberhasilan itu mereka wujudkan dalam bentuk
sekaleng biskuit Khong Guan. Namun simbol kebanggaan itu telah raib
dicuri sekelompok pemuda iseng.
Maka
sepanjang sisa pelayaran kami menyaksikan wajah-wajah yang bersedih.
Terutama wajah sang petani tua. Muncul penyesalan. Tapi kami tidak
bisa berbuat apa-apa. Tidak ada keberanian untuk mengaku di hadapan
mereka bahwa kamilah yang mencuri biskuit itu. Sementara kami juga
tidak memiliki kemampuan untuk mengganti biskuit yang dicuri.
Kami
sungguh menyesal. Kegembiraan kami menyantap biskuit curian malam itu
ternyata beralaskan penderitaan sebuah keluarga yang kehilangan
kebanggaan dan mimpi. Mimpi berlebaran dengan sekaleng biskuit yang
dibeli dengan uang tabungan seorang petani tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar