Bismilahirrohmannirrohim

Semoga selamat dan bahagia di dunia dan di akhirat

Kamis, 15 September 2011

Sudut Pandang


Sudut Pandang
Senin, 11 Juni 2007 12:00 WIB
2037 Dibaca
Tools Box
Ketika promo Kick Andy dengan topik Mayor Alfredo Reinado ditayangkan, berbagai tanggapan segera bermunculan. Salah satu adalah tanggapan dari seseorang di Timor Leste yang disampaikan melalui salah satu reporter Metro TV. Isinya adalah tuduhan bahwa saya menerima sejumlah uang atas wawancara tersebut. “Andy Noya sudah dibayar oleh Mayor Alfredo,” begitu tulisnya dalam sms yang dia kirim ke reporter Metro TV.
Berkali-kali dia mencoba meyakinkan reporter tersebut bahwa saya menerima uang dari Mayor Alfredo. Tuduhan itu mengingatkan saya pada saat terjadi kerusuhan pasca jajak pendapat di Timor Timur (waktu itu). Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto waktu itu menjadi narasumber yang paling diburu untuk menjelaskan apa yang terjadi saat itu. Tentu saja saya, yang waktu itu sebagai wakil pemimpin redaksi Seputar Indonesia RCTI, dan teman-teman di Seputar Indonesia, tidak ketinggalan ikut memburunya.
Setelah berkali-kali berusaha meyakinkan, Jenderal Wiranto akhirnya bersedia saya wawancarai. Dalam wawancara eksklusif pertama di televisi yang dilakukan selama satu jam itu, Wiranto bicara blak-blakan dan tanpa sensor. Semua pertanyaan saya, sekeras apapun, dijawabnya dengan lugas. Beberapa minggu setelah wawancara, pada saat saya sedang belajar di Wales sebagai penerima beasiswa dari British Council, istri saya mengirim sebuah email. Isinya ada tuduhan saya menerima Rp 1 miliar dari Jenderal Wiranto atas wawancara tersebut.
Pada saat Kick Andy menampilkan Presiden Timor Leste (waktu itu) Xanana Gusmao, saya juga menuai protes dan kecaman dari sejumlah keluarga para veteran Seroja. Mereka protes karena tokoh Xanana di acara tersebut seakan dikesankan sebagai pahlawan. Hal tersebut sangat menyayat hati mereka mengingat ayah, suami, kakak, atau adik mereka sudah mengorbankan darah dan nyawa untuk mempertahankan Timor Timur agar tidak lepas dari Indonesia.
Pengorbanan yang oleh mereka dinilai seakan sia-sia melihat akhir dari semua itu: Timor Timur tetap lepas. Sementara dari Timor Leste mengalir pujian dari berbagai kalangan. Bahkan ada permintaan dari TVTL (TVRI-nya Timor Leste) untuk diperbolehkan memutar ulang topik tersebut. Hal yang sama terjadi saat Kick Andy menampilkan topik Orang-orang Buangan, yang menceritakan nestapa sejumlah orang yang dikirim belajar ke luar negeri (sebagian besar ke negara-negara komunis) oleh Bung Karno tetapi kemudian tidak bisa pulang ketika rejim Orde Baru memerintah.
Mereka dicap sebagai PKI dan jika pulang ditangkapi dan dipenjara. Mereka yang marah menuduh saya pro PKI dan membuka peluang lahirnya kembali partai terlarang itu. Lebih dari itu, sejumlah ancaman saya terima melalui sms. Sementara beberapa pihak menilai topik tersebut membuka mata orang tentang apa yang terjadi waktu itu dari sisi yang berbeda.
Ketika topik Hercules diangkat, ada yang menilai saya menjadikan Hercules layaknya pahlawan. Dengan begitu citra preman akan menjadi positif. Ujung-ujungnya akan membuat premanisme semakin marak. Sementara penonton yang lain melihat tokoh Hercules yang ditampilkan membuat mereka bisa melihat seseorang dari berbagai dimensi.
Dengan demikian bisa membuka mata kita agar tidak menghakimi seseorang berdasarkan sudut pandang kita semata. Mana yang benar dan mana yang salah, saya tidak hendak memberikan penilaian. Berbagai cerita semacam itu akan semakin panjang jika dirunut ke belakang dalam perjalanan hidup saya sebagai wartawan. Termasuk ”ancaman” yang saya terima dari seorang pimpinan sebuah lembaga yang dulu sangat ditakuti setelah wawancara dengan Mayor Alfredo ditayangkan.
Dia menuduh saya telah dengan sengaja ingin merusak hubungan baik antara Indonesia dan Timor Leste. Bahkan dia sempat meminta saya menghentikan tayangan tersebut. Sebagai jurnalis, saya memang harus siap menghadapi risiko semacam itu.
Sementara soal kredibilitas dan integritas, biarlah waktu yang akan mengujinya. Dalam setiap topik yang diangkat di Kick Andy, setiap penonton tentu akan melihat dari perspektifnya masing-masing, berdasarkan pengalaman hidup dan nilai-nilai yang dianutnya. Karena itu kebenaran menjadi relatif. Ada satu perumpamaan sederhana yang bisa menjelaskan hal ini.
Ketika Anda menunjukkan telapak tangan Anda kepada orang di hadapan Anda (dengan posisi seperti orang mengatakan tidak), dan Anda tanya apa warna telapak tangan Anda, dia akan menjawab putih. Sementara Anda mengatakan coklat karena Anda sedang menatap bagian pungung dari tangan Anda. Siapa yang benar? Keduanya tentu benar. Tergantung dari sudut mana kita melihatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar