Sudut
Pandang
Senin,
11 Juni 2007 12:00 WIB
2037
Dibaca
Tools
Box
Ketika
promo Kick Andy dengan topik Mayor Alfredo Reinado ditayangkan,
berbagai tanggapan segera bermunculan. Salah satu adalah tanggapan
dari seseorang di Timor Leste yang disampaikan melalui salah satu
reporter Metro TV. Isinya adalah tuduhan bahwa saya menerima sejumlah
uang atas wawancara tersebut. “Andy Noya sudah dibayar oleh Mayor
Alfredo,” begitu tulisnya dalam sms yang dia kirim ke reporter
Metro TV.
Berkali-kali
dia mencoba meyakinkan reporter tersebut bahwa saya menerima uang
dari Mayor Alfredo. Tuduhan itu mengingatkan saya pada saat terjadi
kerusuhan pasca jajak pendapat di Timor Timur (waktu itu).
Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto waktu itu menjadi narasumber yang
paling diburu untuk menjelaskan apa yang terjadi saat itu. Tentu saja
saya, yang waktu itu sebagai wakil pemimpin redaksi Seputar Indonesia
RCTI, dan teman-teman di Seputar Indonesia, tidak ketinggalan ikut
memburunya.
Setelah
berkali-kali berusaha meyakinkan, Jenderal Wiranto akhirnya bersedia
saya wawancarai. Dalam wawancara eksklusif pertama di televisi yang
dilakukan selama satu jam itu, Wiranto bicara blak-blakan dan tanpa
sensor. Semua pertanyaan saya, sekeras apapun, dijawabnya dengan
lugas. Beberapa minggu setelah wawancara, pada saat saya sedang
belajar di Wales sebagai penerima beasiswa dari British Council,
istri saya mengirim sebuah email. Isinya ada tuduhan saya menerima Rp
1 miliar dari Jenderal Wiranto atas wawancara tersebut.
Pada
saat Kick Andy menampilkan Presiden Timor Leste (waktu itu) Xanana
Gusmao, saya juga menuai protes dan kecaman dari sejumlah keluarga
para veteran Seroja. Mereka protes karena tokoh Xanana di acara
tersebut seakan dikesankan sebagai pahlawan. Hal tersebut sangat
menyayat hati mereka mengingat ayah, suami, kakak, atau adik mereka
sudah mengorbankan darah dan nyawa untuk mempertahankan Timor Timur
agar tidak lepas dari Indonesia.
Pengorbanan
yang oleh mereka dinilai seakan sia-sia melihat akhir dari semua itu:
Timor Timur tetap lepas. Sementara dari Timor Leste mengalir pujian
dari berbagai kalangan. Bahkan ada permintaan dari TVTL (TVRI-nya
Timor Leste) untuk diperbolehkan memutar ulang topik tersebut. Hal
yang sama terjadi saat Kick Andy menampilkan topik Orang-orang
Buangan, yang menceritakan nestapa sejumlah orang yang dikirim
belajar ke luar negeri (sebagian besar ke negara-negara komunis) oleh
Bung Karno tetapi kemudian tidak bisa pulang ketika rejim Orde Baru
memerintah.
Mereka
dicap sebagai PKI dan jika pulang ditangkapi dan dipenjara. Mereka
yang marah menuduh saya pro PKI dan membuka peluang lahirnya kembali
partai terlarang itu. Lebih dari itu, sejumlah ancaman saya terima
melalui sms. Sementara beberapa pihak menilai topik tersebut membuka
mata orang tentang apa yang terjadi waktu itu dari sisi yang berbeda.
Ketika
topik Hercules diangkat, ada yang menilai saya menjadikan Hercules
layaknya pahlawan. Dengan begitu citra preman akan menjadi positif.
Ujung-ujungnya akan membuat premanisme semakin marak. Sementara
penonton yang lain melihat tokoh Hercules yang ditampilkan membuat
mereka bisa melihat seseorang dari berbagai dimensi.
Dengan
demikian bisa membuka mata kita agar tidak menghakimi seseorang
berdasarkan sudut pandang kita semata. Mana yang benar dan mana yang
salah, saya tidak hendak memberikan penilaian. Berbagai cerita
semacam itu akan semakin panjang jika dirunut ke belakang dalam
perjalanan hidup saya sebagai wartawan. Termasuk ”ancaman” yang
saya terima dari seorang pimpinan sebuah lembaga yang dulu sangat
ditakuti setelah wawancara dengan Mayor Alfredo ditayangkan.
Dia
menuduh saya telah dengan sengaja ingin merusak hubungan baik antara
Indonesia dan Timor Leste. Bahkan dia sempat meminta saya
menghentikan tayangan tersebut. Sebagai jurnalis, saya memang harus
siap menghadapi risiko semacam itu.
Sementara
soal kredibilitas dan integritas, biarlah waktu yang akan mengujinya.
Dalam setiap topik yang diangkat di Kick Andy, setiap penonton tentu
akan melihat dari perspektifnya masing-masing, berdasarkan pengalaman
hidup dan nilai-nilai yang dianutnya. Karena itu kebenaran menjadi
relatif. Ada satu perumpamaan sederhana yang bisa menjelaskan hal
ini.
Ketika
Anda menunjukkan telapak tangan Anda kepada orang di hadapan Anda
(dengan posisi seperti orang mengatakan tidak), dan Anda tanya apa
warna telapak tangan Anda, dia akan menjawab putih. Sementara Anda
mengatakan coklat karena Anda sedang menatap bagian pungung dari
tangan Anda. Siapa yang benar? Keduanya tentu benar. Tergantung dari
sudut mana kita melihatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar