GURU
Rabu,
02 Mei 2007 12:00 WIB
1976
Dibaca
Tools
Box
Guru
Saya benci guru. Saya tidak percaya guru adalah orang yang arif.
Bohong kalau guru singkatan dari orang yang pantas “digugu lan
ditiru”, orang yang seharusnya menjadi suri tauladan. Itulah
perasaan saya saat duduk di kelas tiga SD. Waktu itu, karena nakal
dan suka bolos, saya tidak naik kelas. Agar saya tidak malu pada
teman-teman yang naik kelas, orangtua memindahkan saya ke sekolah
swasta di bilangan Jalan Diponegoro, Surabaya. Baru dua hari, saya
sudah bisa merasakan bahwa saya “mahluk aneh” di lingkungan itu.
Sepatu Bata saya terlihat kumal ketika bersanding dengan
sepatu-sepatu mahal murid lain saat upacara. Baju putih saya segera
terlihat kekuningan akibat ”dicuci dengan sabun biasa”. Hampir
semua murid ke sekolah diantar naik mobil. Saya dibonceng paman naik
sepeda tua yang sering copot rantainya. Belum lagi denyit roda yang
kerap membuat orang menoleh untuk melihat asal suara. Ban kempes di
tengah jalan sudah jadi makanan sehari-hari. Karena malu, saya sering
minta diturunkan 15 meter dari gerbang sekolah. Awalnya saya merasa
takjub bagaimana ibu saya bisa mencemplungkan saya ke sebuah sekolah
yang seakan ada di planet lain. Tapi, setelah dewasa kelak, saya baru
tahu kalau saya bisa masuk sekolah ”elit” itu lebih karena faktor
belas kasihan. Kepala sekolahnya adalah pelanggan yang sering
menjahitkan bajunya ke ibu. Karena jahitan ibu memuaskan, sang kepala
sekolah jadi pelanggan setia. Ibu lalu minta tolong agar saya bisa
bersekolah di situ. Tetap bayar tapi dengan harga ”miring” Sejak
dulu ada tiga mata pelajaran yang paling saya sukai dan sangat saya
kuasai. Menggambar, mengarang, dan prakarya. Untuk pelajaran yang
terakhir, saya dinilai sangat kreatif dan sering mendapat pujian
guru. Maka, pada minggu pertama di sekolah baru, ketika mata
pelajaran prakarya, malamnya saya tidak bisa tidur. Rasanya tak sabar
menunggu matahari terbit. Rasanya tak sabar ingin membuat teman-teman
dan guru di sekolah baru itu takjub melihat kreasi saya. Di sekolah
lama, murid tidak boleh menyelesaikan prakarya di rumah. Bahan-bahan
boleh disiapkan, tapi pengerjaannya harus di sekolah dan disaksikan
guru. Maka, ketika hari yang dinanti tiba, saya kaget. Begitu masuk
kelas, guru segera meminta semua murid mengumpulkan hasil prakarya.
Serentak seisi kelas maju sembari membawa “prakarya” mereka
masing-masing. Saya terpana. Ada yang menyerahkan patung bali dari
kayu mengkilap, ada asbak ukiran dari gading, kapal layar di dalam
botol, lampu duduk berukir berbahan kuningan dan sejumlah barang lain
yang sering saya lihat dipajang di etalase toko. Mata saya semakin
terbelalak ketika dengan tenang sang guru menerima, memeriksa,
kemudian memberi nilai. “Bagus, saya beri nilai sembilan,”
ujarnya diikuti senyum bahagia dari sang murid. Begitu seterusnya.
Tiba giliran saya, kaki gemetar, jantung rasanya berhenti berdegup.
Semangat sudah melayang entah ke mana. Mata guru menatap heran ke
materi yang saya perlihatkan. Saya minta waktu untuk menyelesaikannya
tapi sang guru menggeleng. Dia minta saya tetap mengumpulkan prakarya
“prematur“ itu lalu membubuhkan angka empat. Tak ada sedikit pun
keinginan bertanya apa yang ingin saya ciptakan dengan bahan-bahan
itu. Saya kecewa. Saya marah. Besoknya saya tak sudi sekolah lagi.
Ibu putus asa berusaha membujuk. Saya tidak peduli. Ibu mengalah.
Akhirnya saya dipindah sekolah ke Malang. Sekian tahun kemudian,
ketika sekolah di Jakarta, saya merasa hancur hati pada dua guru.
Ketika ujian kenaikan, kedua guru itu membocorkan bahan ujian.
Imbalannya sungguh sederhana. Guru pertama cukup diberi ”uang
biskuit”. Guru kedua dengan mantap menyebut 10 sak semen untuk
memperbaiki rumahnya. Sulit menerima kenyataan ”guru juga manusia”.
Lama perasaan marah dan kecewa itu saya pendam dalam hati. Namun
setelah menjadi wartawan dan melihat lebih banyak, penilaian saya
berbalik. Saya kini lebih bisa melihat guru dari perpektif yang
berbeda. Banyak dari mereka yang terpaksa mengorbankan perasaan demi
mempertahankan hidup. Ada yang jadi tukang ojek, tukang becak,
satpam, penjual makanan, penjual jamu, bahkan sampai nekat mencuri
soal untuk dijual. Karena itu, saya sungguh terharu dan bahagia
ketika pada ulang tahun pertama Kick Andy melihat keceriaan guru-guru
honorer yang diundang saat rekaman di studio. Dari dialog dengan
mereka, saya menjadi bisa lebih memahami dan berempati terhadap nasib
guru-guru di Indonesia. Sekarang jika ada guru yang melakukan
“kesalahan“, saya tidak semata-mata melihat apa yang mereka
lakukan, tapi mencoba memahami mengapa mereka melakukannya. Dengan
demikian saya bisa menerima guru apa adanya. Termasuk memahami
mengapa guru saya di SD dulu lebih menghargai “prakarya“ yang
memiliki nilai ekonomis ketimbang prakarya saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar