PELAJARAN
Minggu,
19 Oktober 2008 22:49 WIB
9784
Dibaca
Tools
Box
Dalam
hitungan detik saya menerobos masuk, langsung ke ruang tamu dan
bersembunyi di balik pintu. Sementara sekelompok anak berseragam
putih abu-abu itu berhenti tepat di depan pintu. Cuma dua meter dari
tempat saya. Wajah mereka penuh kemarahan. Saya menahan nafas
dalam-dalam. Jantung berdegup kencang. Jika mereka menemukan saya,
habislah sudah.
Cukup
lama saya berada di balik pintu itu. Naluri saya melarang untuk
keluar dari persembunyian walau sekelompok pelajar itu telah berlalu.
Dari balik pintu saya masih mendengar suara mereka bertanya ke sana
ke mari. Sesekali ada yang melintas di depan rumah sembari berlari.
Mereka kehilangan jejak karena saya tiba-tiba raib.
Dalam
situasi seperti itu, ibu pemilik rumah tiba-tiba muncul. Dia terkejut
melihat saya sudah berada di ruang tamu rumahnya. Matanya penuh tanda
tanya. Sebelum terjadi salah paham, kepadanya saya meminta maaf
karena masuk ke rumahnya tanpa permisi. Dengan suara pelan saya
menceritakan bahwa saya sedang dikejar-kejar sekelompok siswa sekolah
lain. Sekolah saya dan sekolah mereka terlibat tawuran.
Di
luar dugaan saya, sang ibu malah mempersilakan saya masuk ke salah
satu kamar. “Lebih aman sembunyi di dalam kamar sana. Kalau di sini
bisa ketahuan,” ujarnya. Ada perasaan tidak enak. Kamar tentu
wilayah privat. Apalagi untuk tamu asing seperti saya. Tapi,
ketakutan mengalahkan perasaan tidak nyaman. Saya lalu bersembunyi di
kamar yang ditunjuk.
Tak
lama kemudian rombongan siswa berseragam abu-abu itu muncul lagi.
Kepada sang ibu mereka bertanya apa melihat ada orang dengan
ciri-ciri seperti saya lewat di sekitar situ? Lamat-lamat saya
mendengar sang ibu mengatakan dia sama sekali tidak melihat ada yang
lewat. Ibu itu melindungi saya.
Untuk
sekian lama saya berada di kamar hingga kemudian ibu pemilik rumah
muncul membawa nampan berisi nasi dan lauk pauk. Lengkap dengan
segelas air putih. Dia menyuruh saya makan dan meminta saya tetap di
kamar karena rombongan anak-anak yang mengejar saya masih bergerombol
tidak jauh dari rumahnya.
Melihat
hidangan yang disajikan, ingatan saya kembali pada apa yang saya
perbuat beberapa waktu lalu. Rumah tempat saya bersembunyi ini
letaknya tidak jauh dari beberapa sekolah yang ada di kawasan Dok V,
Jayapura. Di situ ada sebuah SMA, STM, dan SMP. Melihat peluang
bisnis, pemilik rumah, ibu yang baru saja menyelamatkan saya, membuka
warung makanan. Bagian samping rumahnya dia jadikan warung, tempat
anak-anak yang bersekolah di sekitar situ bisa menyantap mie bakso
dan jajanan lain.
Saya
masih duduk di bangku kelas tiga Sekolah Teknik (setingkat SMP).
Sekolah saya letaknya di Dok VII, sekitar satu kilometer dari lokasi
warung. Tapi biasanya sepulang sekolah saya dan teman-teman mampir
dulu ke warung itu. Kami biasa kumpul-kumpul di sana.
Kalau
bangku di depan warung sudah penuh, ibu pemilik warung mempersilakan
para pembeli duduk di dalam, di ruang makan keluarga mereka. Nah,
situasi inilah yang sering saya dan teman-teman manfaatkan. Kebaikan
ibu pemilik warung tersebut kami salah gunakan.
Kalau
makan di warung itu, saya dan teman-teman sengaja memilih duduk di
ruang makan. Jika pemilik warung lengah, salah satu dari kami segera
membuka lemari makan dan mencuri lauk-pauk yang ada di dalamnya.
Kadang tempe, empal, ikan goreng, kerupuk atau ayam goreng. Lauk-pauk
ini tentu tidak dijual karena untuk konsumsi keluarga pemilik warung.
Isi lemari inilah yang menjadi sasaran kami. Enak dan gratis. Pernah
sekali kami kepergok. Tapi ibu itu diam saja. Tidak marah. Tidak pula
meminta bayaran.
Kini,
di ruangan yang tidak terlalu luas itu, di kamar pemilik rumah yang
juga pemilik warung yang makanannya sering kami curi, saya mendapat
perlindungan. Ibu itulah yang menolong saya. Dia menyembunyikan saya
dari kejaran anak-anak SMA. Jika saja dia dendam atas perbuatan saya
mencuri makanan di lemari makannya dulu, tentu dia tidak akan sudi
menolong saya. Apalagi melindungi.
Sembari
menyantap makanan di piring (makanan yang hampir sama dengan yang
sering saya curi), perasaan sesak memenuhi rongga dada. “Tuhan,
hari ini Engkau menunjukkan kepadaku pelajaran yang luar biasa dalam
hidup. Bagaimana orang yang sering saya rugikan, bukannya membenci
saya bahkan sebaliknya menyelamatkan saya”.
Peristiwa
yang terjadi puluhan tahun lalu itu hingga kini terus membekas dalam
ingatan. Sampai saat ini saya terus belajar dari kearifan sang ibu
tersebut. Belajar bagaimana membalas perlakuan jahat orang dengan
perbuatan baik. Tidak mudah, memang. Tetapi dengan begitu saya
merasakan hidup menjadi lebih berarti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar