Kaca
Spion
Selasa,
19 Agustus 2008 13:23 WIB
19713
Dibaca
Tools
Box
Sejak
bekerja saya tidak pernah lagi berkunjung ke Perpustakaan Soemantri
Brodjonegoro di Jalan Rasuna Said, Jakarta. Tapi, suatu hari ada
kerinduan dan dorongan yang luar biasa untuk ke sana. Bukan untuk
baca buku, melainkan makan gado-gado di luar pagar perpustakaan.
Gado-gado yang dulu selalu membuat saya ngiler. Namun baru dua tiga
suap, saya merasa gado-gado yang masuk ke mulut jauh dari bayangan
masa lalu. Bumbu kacang yang dulu ingin saya jilat sampai piringnya
mengkilap, kini rasanya amburadul. Padahal ini gado-gado yang saya
makan dulu. Kain penutup hitamnya sama. Penjualnya juga masih sama.
Tapi mengapa rasanya jauh berbeda?
Malamnya,
soal gado-gado itu saya ceritakan kepada istri. Bukan soal rasanya
yang mengecewakan, tetapi ada hal lain yang membuat saya gundah.
Sewaktu
kuliah, hampir setiap siang, sebelum ke kampus saya selalu mampir ke
perpustakaan Soemantri Brodjonegoro. Ini tempat favorit saya. Selain
karena harus menyalin bahan-bahan pelajaran dari buku-buku wajib yang
tidak mampu saya beli, berada di antara ratusan buku membuat saya
merasa begitu bahagia. Biasanya satu sampai dua jam saya di sana.
Jika masih ada waktu, saya melahap buku-buku yang saya minati. Bau
harum buku, terutama buku baru, sungguh membuat pikiran terang dan
hati riang. Sebelum meninggalkan perpustakaan, biasanya saya singgah
di gerobak gado-gado di sudut jalan, di luar pagar. Kain penutupnya
khas, warna hitam. Menurut saya, waktu itu, inilah gado-gado paling
enak seantero Jakarta. Harganya Rp 500 sepiring sudah termasuk
lontong. Makan sepiring tidak akan pernah puas. Kalau ada uang lebih,
saya pasti nambah satu piring lagi. Tahun berganti tahun. Drop out
dari kuliah, saya bekerja di Majalah TEMPO sebagai reporter buku Apa
dan Siapa Orang Indonesia. Kemudian pindah menjadi reporter di Harian
Bisnis Indonesia. Setelah itu menjadi redaktur di Majalah MATRA.
Karir saya terus meningkat hingga menjadi pemimpin redaksi di Harian
Media Indonesia dan Metro TV.
Sampai
suatu hari, kerinduan itu datang. Saya rindu makan gado-gado di sudut
jalan itu. Tetapi ketika rasa gado-gado berubah drastis, saya menjadi
gundah. Kegundahan yang aneh. Kepada istri saya utarakan kegundahan
tersebut. Saya risau saya sudah berubah dan tidak lagi menjadi diri
saya sendiri. Padahal sejak kecil saya berjanji jika suatu hari kelak
saya punya penghasilan yang cukup, punya mobil sendiri, dan punya
rumah sendiri, saya tidak ingin berubah. Saya tidak ingin menjadi
sombong karenanya.
Hal
itu berkaitan dengan pengalaman masa kecil saya di Surabaya. Sejak
kecil saya benci orang kaya. Ada kejadian yang sangat membekas dan
menjadi trauma masa kecil saya. Waktu itu umur saya sembilan tahun.
Saya bersama seorang teman berboncengan sepeda hendak bermain bola.
Sepeda milik teman yang saya kemudikan menyerempet sebuah mobil. Kaca
spion mobil itu patah.
Begitu
takutnya, bak kesetanan saya berlari pulang. Jarak 10 kilometer saya
tempuh tanpa berhenti. Hampir pingsan rasanya. Sesampai di rumah saya
langsung bersembunyi di bawah kolong tempat tidur. Upaya yang
sebenarnya sia-sia. Sebab waktu itu kami hanya tinggal di sebuah
garasi mobil, di Jalan Prapanca. Garasi mobil itu oleh pemiliknya
disulap menjadi kamar untuk disewakan kepada kami. Dengan ukuran
kamar yang cuma enam kali empat meter, tidak akan sulit menemukan
saya. Apalagi tempat tidur di mana saya bersembunyi adalah
satu-satunya tempat tidur di ruangan itu. Tak lama kemudian, saya
mendengar keributan di luar. Rupanya sang pemilik mobil datang.
Dengan suara keras dia marah-marah dan mengancam ibu saya. Intinya
dia meminta ganti rugi atas kerusakan mobilnya.
Pria
itu, yang cuma saya kenali dari suaranya yang keras dan tidak
bersahabat, akhirnya pergi setelah ibu berjanji akan mengganti kaca
spion mobilnya. Saya ingat harga kaca spion itu Rp 2.000. Tapi uang
senilai itu, pada tahun 1970, sangat besar. Terutama bagi ibu yang
mengandalkan penghasilan dari menjahit baju. Sebagai gambaran, ongkos
menjahit baju waktu itu Rp 1.000 per potong. Satu baju memakan waktu
dua minggu. Dalam sebulan, order jahitan tidak menentu. Kadang
sebulan ada tiga, tapi lebih sering cuma satu. Dengan penghasilan
dari menjahit itulah kami – ibu, dua kakak, dan saya – harus bisa
bertahan hidup sebulan.
Setiap
bulan ibu harus mengangsur ganti rugi kaca spion tersebut. Setiap
akhir bulan sang pemilik mobil, atau utusannya, datang untuk
mengambil uang. Begitu berbulan-bulan. Saya lupa berapa lama ibu
harus menyisihkan uang untuk itu. Tetapi rasanya tidak ada
habis-habisnya. Setiap akhir bulan, saat orang itu datang untuk
mengambil uang, saya selalu ketakutan. Di mata saya dia begitu jahat.
Bukankah dia kaya? Apalah artinya kaca spion mobil baginya? Tidakah
dia berbelas kasihan melihat kondisi ibu dan kami yang hanya
menumpang di sebuah garasi?
Saya
tidak habis mengerti betapa teganya dia. Apalagi jika melihat wajah
ibu juga gelisah menjelang saat-saat pembayaran tiba. Saya benci
pemilik mobil itu. Saya benci orang-orang yang naik mobil mahal. Saya
benci orang kaya.
Untuk
menyalurkan kebencian itu, sering saya mengempeskan ban mobil-mobil
mewah. Bahkan anak-anak orang kaya menjadi sasaran saya. Jika musim
layangan, saya main ke kompleks perumahan orang-orang kaya. Saya
menawarkan jasa menjadi tukang gulung benang gelasan ketika mereka
adu layangan. Pada saat mereka sedang asyik, diam-diam benangnya saya
putus dan gulungan benang gelasannya saya bawa lari. Begitu
berkali-kali. Setiap berhasil melakukannya, saya puas. Ada dendam
yang terbalaskan.
Sampai
remaja perasaan itu masih ada. Saya muak melihat orang-orang kaya di
dalam mobil mewah. Saya merasa semua orang yang naik mobil mahal
jahat. Mereka orang-orang yang tidak punya belas kasihan. Mereka
tidak punya hati nurani.
Nah,
ketika sudah bekerja dan rindu pada gado-gado yang dulu semasa kuliah
begitu lezat, saya dihadapkan pada kenyataan rasa gado-gado itu tidak
enak di lidah. Saya gundah. Jangan-jangan sayalah yang sudah berubah.
Hal yang sangat saya takuti. Kegundahan itu saya utarakan kepada
istri. Dia hanya tertawa. ‘’Andy Noya, kamu tidak usah merasa
bersalah. Kalau gado-gado langgananmu dulu tidak lagi nikmat, itu
karena sekarang kamu sudah pernah merasakan berbagai jenis makanan.
Dulu mungkin kamu hanya bisa makan gado-gado di pinggir jalan.
Sekarang, apalagi sebagai wartawan, kamu punya kesempatan mencoba
makanan yang enak-enak. Citarasamu sudah meningkat,’’ ujarnya.
Ketika dia melihat saya tetap gundah, istri saya mencoba meyakinkan,
“Kamu berhak untuk itu. Sebab kamu sudah bekerja keras.”
Tidak
mudah untuk untuk menghilangkan perasaan bersalah itu. Sama sulitnya
dengan meyakinkan diri saya waktu itu bahwa tidak semua orang kaya
itu jahat. Dengan karir yang terus meningkat dan gaji yang saya
terima, ada ketakutan saya akan berubah. Saya takut perasaan saya
tidak lagi sensisitif. Itulah kegundahan hati saya setelah makan
gado-gado yang berubah rasa. Saya takut bukan rasa gado-gado yang
berubah, tetapi sayalah yang berubah. Berubah menjadi sombong.
Ketakutan
itu memang sangat kuat. Saya tidak ingin menjadi tidak sensitif. Saya
tidak ingin menjadi seperti pemilik mobil yang kaca spionnya saya
tabrak.
Kesadaran
semacam itu selalu saya tanamkan dalam hati. Walau dalam kehidupan
sehari-hari sering menghadapi ujian. Salah satunya ketika mobil saya
ditabrak sepeda motor dari belakang. Penumpang dan orang yang
dibonceng terjerembab. Pada siang terik, ketika jalanan macet,
ditabrak dari belakang, sungguh ujian yang berat untuk tidak marah.
Rasanya ingin melompat dan mendamprat pemilik motor yang menabrak
saya. Namun, saya terkejut ketika menyadari yang dibonceng adalah
seorang ibu tua dengan kebaya lusuh. Pengemudi motor adalah anaknya.
Mereka berdua pucat pasi. Selain karena terjatuh, tentu karena
melihat mobil saya penyok.
Hanya
dalam sekian detik bayangan masa kecil saya melintas. Wajah pucat itu
serupa dengan wajah saya ketika menabrak kaca spion. Wajah yang
merefleksikan ketakutan akan akibat yang harus mereka tanggung. Sang
ibu, yang lecet-lecet di lutut dan sikunya, berkali-kali meminta maaf
atas keteledoran anaknya. Dengan mengabaikan lukanya, dia berusaha
meluluhkan hati saya. Setidaknya agar saya tidak menuntut ganti rugi.
Sementara sang anak terpaku membisu. Pucat pasi. Hati yang panas
segera luluh. Saya tidak ingin mengulang apa yang pernah terjadi pada
saya. Saya tidak boleh membiarkan benih kebencian lahir siang itu.
Apalah artinya mobil yang penyok berbanding beban yang harus mereka
pikul.
Maka
saya bersyukur. Bersyukur pernah berada di posisi mereka. Dengan
begitu saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Setidaknya siang
itu saya tidak ingin lahir sebuah benih kebencian. Kebencian seperti
yang pernah saya rasakan dulu. Kebencian yang lahir dari pengalaman
hidup yang pahit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar