Lentera
Jiwa
Senin,
25 Agustus 2008 23:55 WIB
34452
Dibaca
Tools
Box
Banyak
yang bertanya mengapa saya mengundurkan diri sebagai pemimpin redaksi
Metro TV. Memang sulit bagi saya untuk meyakinkan setiap orang yang
bertanya bahwa saya keluar bukan karena ‘pecah kongsi’ dengan
Surya Paloh, bukan karena sedang marah atau bukan dalam situasi yang
tidak menyenangkan. Mungkin terasa aneh pada posisi yang tinggi,
dengan ‘power’ yang luar biasa sebagai pimpinan sebuah stasiun
televisi berita, tiba-tiba saya mengundurkan diri.
Dalam
perjalanan hidup dan karir, dua kali saya mengambil keputusan sulit.
Pertama, ketika saya tamat STM. Saya tidak mengambil peluang beasiswa
ke IKIP Padang. Saya lebih memilih untuk melanjutkan ke Sekolah
Tinggi Publisistik di Jakarta walau harus menanggung sendiri beban
uang kuliah. Kedua, ya itu tadi, ketika saya memutuskan untuk
mengundurkan diri dari Metro TV.
Dalam
satu seminar, Rhenald Khasali, penulis buku Change yang saya kagumi,
sembari bergurau di depan ratusan hadirin mencoba menganalisa mengapa
saya keluar dari Metro TV. ‘’Andy ibarat ikan di dalam kolam.
Ikannya terus membesar sehingga kolamnya menjadi kekecilan. Ikan
tersebut terpaksa harus mencari kolam yang lebih besar.’’
Saya
tidak tahu apakah pandangan Rhenald benar. Tapi, jujur saja, sejak
lama saya memang sudah ingin mengundurkan diri dari Metro TV.
Persisnya ketika saya membaca sebuah buku kecil berjudul Who Move My
Cheese.Bagi Anda yang belum baca, buku ini bercerita tentang dua
kurcaci. Mereka hidup dalam sebuah labirin yang sarat dengan keju.
Kurcaci yang satu selalu berpikiran suatu hari kelak keju di tempat
mereka tinggal akan habis. Karena itu, dia selalu menjaga stamina dan
kesadarannya agar jika keju di situ habis, dia dalam kondisi siap
mencari keju di tempat lain. Sebaliknya, kurcaci yang kedua, begitu
yakin sampai kiamat pun persediaan keju tidak akan pernah habis.
Singkat
cerita, suatu hari keju habis. Kurcaci pertama mengajak sahabatnya
untuk meninggalkan tempat itu guna mencari keju di tempat lain. Sang
sahabat menolak. Dia yakin keju itu hanya ‘dipindahkan’ oleh
seseorang dan nanti suatu hari pasti akan dikembalikan. Karena itu
tidak perlu mencari keju di tempat lain. Dia sudah merasa nyaman.
Maka dia memutuskan menunggu terus di tempat itu sampai suatu hari
keju yang hilang akan kembali. Apa yang terjadi, kurcaci itu menunggu
dan menunggu sampai kemudian mati kelaparan. Sedangkan kurcaci yang
selalu siap tadi sudah menemukan labirin lain yang penuh keju. Bahkan
jauh lebih banyak dibandingkan di tempat lama.
Pesan
moral buku sederhana itu jelas: jangan sekali-kali kita merasa nyaman
di suatu tempat sehingga lupa mengembangkan diri guna menghadapi
perubahan dan tantangan yang lebih besar. Mereka yang tidak mau
berubah, dan merasa sudah nyaman di suatu posisi, biasanya akan mati
digilas waktu.
Setelah
membaca buku itu, entah mengapa ada dorongan luar biasa yang
menghentak-hentak di dalam dada. Ada gairah yang luar biasa yang
mendorong saya untuk keluar dari Metro TV. Keluar dari labirin yang
selama ini membuat saya sangat nyaman karena setiap hari ‘keju’
itu sudah tersedia di depan mata. Saya juga ingin mengikuti ‘lentera
jiwa’ saya. Memilih arah sesuai panggilan hati. Saya ingin berdiri
sendiri.
Maka
ketika mendengar sebuah lagu berjudul ‘Lentera Jiwa’ yang
dinyanyikan Nugie, hati saya melonjak-lonjak. Selain syair dan pesan
yang ingin disampaikan Nugie dalam lagunya itu sesuai dengan kata
hati saya, sudah sejak lama saya ingin membagi kerisauan saya kepada
banyak orang.
Dalam
perjalanan hidup saya, banyak saya jumpai orang-orang yang merasa
tidak bahagia dengan pekerjaan mereka. Bahkan seorang kenalan saya,
yang sudah menduduki posisi puncak di suatu perusahaan asuransi
asing, mengaku tidak bahagia dengan pekerjaannya. Uang dan jabatan
ternyata tidak membuatnya bahagia. Dia merasa ‘lentera jiwanya’
ada di ajang pertunjukkan musik. Tetapi dia takut untuk melompat.
Takut untuk memulai dari bawah. Dia merasa tidak siap jika kehidupan
ekonominya yang sudah mapan berantakan. Maka dia menjalani sisa
hidupnya dalam dilema itu. Dia tidak bahagia.
Ketika
diminta untuk menjadi pembicara di kampus-kampus, saya juga menemukan
banyak mahasiswa yang tidak happy dengan jurusan yang mereka tekuni
sekarang. Ada yang mengaku waktu itu belum tahu ingin menjadi apa,
ada yang jujur bilang ikut-ikutan pacar (yang belakangan ternyata
putus juga) atau ada yang karena solider pada teman. Tetapi yang
paling banyak mengaku jurusan yang mereka tekuni sekarang -- dan
membuat mereka tidak bahagia -- adalah karena mengikuti keinginan
orangtua.
Dalam
episode Lentera Jiwa (tayang Jumat 29 dan Minggu 31 Agustus 2008),
kita dapat melihat orang-orang yang berani mengambil keputusan besar
dalam hidup mereka. Ada Bara Patirajawane, anak diplomat dan lulusan
Hubungan Internasional, yang pada satu titik mengambil keputusan
drastis untuk berbelok arah dan menekuni dunia masak memasak. Dia
memilih menjadi koki. Pekerjaan yang sangat dia sukai dan
menghantarkannya sebagai salah satu pemandu acara masak-memasak di
televisi dan kini memiliki restoran sendiri. ‘’Saya sangat
bahagia dengan apa yang saya kerjakan saat ini,’’ ujarnya.
Padahal, orangtuanya menghendaki Bara mengikuti jejak sang ayah
sebagai dpilomat.
Juga
ada Wahyu Aditya yang sangat bahagia dengan pilihan hatinya untuk
menggeluti bidang animasi. Bidang yang menghantarkannya mendapat
beasiswa dari British Council. Kini Adit bahkan membuka sekolah
animasi. Padahal, ayah dan ibunya lebih menghendaki anak tercinta
mereka mengikuti jejak sang ayah sebagai dokter.
Simak
juga bagaimana Gde Prama memutuskan meninggalkan posisi puncak sebuah
perusahaan jamu dan jabatan komisaris di beberapa perusahaan.
Konsultan manajemen dan penulis buku ini memilih tinggal di Bali dan
bekerja untuk dirinya sendiri sebagai public speaker.
Pertanyaan
yang paling hakiki adalah apa yang kita cari dalam kehidupan yang
singkat ini? Semua orang ingin bahagia. Tetapi banyak yang tidak tahu
bagaimana cara mencapainya.
Karena
itu, beruntunglah mereka yang saat ini bekerja di bidang yang
dicintainya. Bidang yang membuat mereka begitu bersemangat, begitu
gembira dalam menikmati hidup. ‘’Bagi saya, bekerja itu seperti
rekreasi. Gembira terus. Nggak ada capeknya,’’ ujar Yon Koeswoyo,
salah satu personal Koes Plus, saat bertemu saya di kantor majalah
Rolling Stone. Dalam usianya menjelang 68 tahun, Yon tampak penuh
enerji. Dinamis. Tak heran jika malam itu, saat pementasan
Earthfest2008, Yon mampu melantunkan sepuluh lagu tanpa henti.
Sungguh luar biasa. ‘’Semua karena saya mencintai pekerjaan saya.
Musik adalah dunia saya. Cinta saya. Hidup saya,’’ katanya.
Berbahagialah
mereka yang menikmati pekerjaannya. Berbahagialah mereka yang sudah
mencapai taraf bekerja adalah berekreasi. Sebab mereka sudah
menemukan lentera jiwa mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar