Menghakimi
Minggu,
12 Oktober 2008 21:29 WIB
12046
Dibaca
Tools
Box
Sepintas
dia tampak tidak berbeda dengan remaja seusianya. Gaya berpakaiannya
pun khas anak baru gede. Celana jins biru agak belel dan t-shirt
berbalut jaket denim serta sepatu sport warna cerah. Dengan ransel di
punggungnya, tidak seoprang pun akan menyangka Marleen, begitu saja
kita sebut namanya, ternyata seorang ibu dari bayi mungil yang lucu.
Kami
menjemput Marleen di sekolahnya, sebuah SMA di sebuah sudut Chelsea,
di Boston. Ada 12 anak yang harus dijemput siang itu. Para remaja itu
merupakan “anak-anak salah asuhan” yang ditampung di Rumah
Singgah Roca di Chelsea. Mereka, para remaja ini, merupakan anak-anak
yang pernah terperosok pada kehidupan jalanan yang keras dan penuh
jebakan.
Ketika
mengikuti Program Ideas Indonesia di MIT Sloan, Boston, bersama
beberapa teman saya berkesempatan mengunjungi Rumah Singgah Roca yang
didirikan dan dipimpin Molly Baldwin, seorang perempuan yang luar
biasa. Molly sudah mengabdikan hidupnya untuk membantu anak-anak dan
remaja bermasalah lebih dari 20 tahun.
Di
Roca para remaja yang pernah terperangkap narkoba, seks bebas,
kriminalitas antar geng, dan kekerasan seks ini ditampung dan diberi
bekal untuk menapaki masa depan yang lebih baik. Selain
pelatihan-pelatihan keterampilan, anak-anak yang nyaris kehilangan
masa depan ini juga dikembalikan ke bangku sekolah.
Dalam
usia 14 tahun Marleen melahirkan bayi dari hasil hubungan seks bebas
sesama remaja. Hidup harusnya berakhir bagi Marleen jika saja tidak
ada Molly dan Roca-nya yang berjuang menyelamatkan anak-anak korban
keadaan semacam ini.
Kisah
Marleen ini kembali memicu pergolakan bathin saya selama ini yang
tidak kunjung berakhir. Pergolakan bathin yang belum menemukan
jawabnya sampai sekarang. Semua bermula ketika saya bertemu seorang
perempuan, ibu satu putri remaja, yang memberi saya sebuah buku
sederhana berisi pengalaman hidupnya. Cerita di dalam buku inilah
yang kemudian memicu pergolakan bathin tadi.
Di
dalam buku tersebut Melati – sebut saja namanya begitu --
menceritakan secara gamblang pengalaman hidupnya. Pengalaman yang –
menurut saya – tidak semua orang mampu mengungkapkannya. Dia
memaparkan dengan sangat transparan kisah kelam hidupnya ketika
terjerumus dalam hubungan di luar nikah yang kemudian melahirkan
seorang anak.
Suatu
ketika, Melati jatuh cinta pada seorang pria yang sudah beristri.
Mereka lalu menjalin hubungan “backstreet” selama beberapa tahun.
Hubungan terlarang itu berujung kehamilan. Di sinilah awal persoalan.
Melati bertekad mempertahankan kelahiran sang bayi, sementara sang
pria tak sudi dan meninggalkan Melati. Kini, setelah dua puluh tahun
berlalu, anak tersebut tumbuh dewasa dan menyadari dia lahir dari
hubungan terlarang. Melati menceritakan kepada sang anak apa yang
terjadi. Ibu dan anak kemudian sepakat menghadapi kenyataan tersebut
dan bertekad mengarunginya bersama-sama.
Cerita
mereka kemudian dibukukan. Bahkan dalam buku itu ibu dan anak
mencantumkan foto-foto mereka. Sebuah keberanian luar biasa, terutama
bagi sang anak yang masih memiliki jalan panjang dalam menapaki
kehidupan ini.
Saya
berniat mengangkat kisah mereka di Kick Andy sebagai suatu
pembelajaran. Bahkan guna melengkapi perpektif tentang “anak
haram”, saya meminta teman-teman di tim Kick Andy melakukan riset.
Saya meminta tim Kik Andy mencari kisah tentang perempuan-perempuan
korban perkosaan yang melahirkan anak dan terus membesarkan anak-anak
hasil perkosaan tersebut. Tidak masalah apakah karena terpaksa atau
mereka memang bertekad mempertahankan janin di dalam rahim mereka
kendati janin itu tumbuh bukan atas kehendak mereka.
Pesan
moral yang hendak saya sampaikan waktu itu adalah bagaimana mereka,
para perempuan itu, dengan alasan masing-masing tetap merawat dan
membesarkan bayi hasil hubungan yang “tidak wajar” itu walau
harus menanggung malu dan derita. Termasuk bagaimana menyiapkan sang
anak untuk menghadapi kehidupan di dalam masyarakat dengan stempel
“anak haram”.
Tetapi,
sampai saat ini pergolakan bathin saya itu belum menemukan
jawabannya. Bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap mereka yang
menghadapi kondisi seperti Marleen, Melati, dan para perempuan korban
perkosaan yang melahirkan anak itu? Sebagian dari kita mungkin akan
dengan mudah menghakimi Marleen dan Melati. Dengan gampang kita akan
menuduh mereka telah melakukan perbuatan yang dilarang agama.
Sementara bagi korban perkosaaan, sebagian dari kita mungkin bisa
memaafkan. Bukankah mereka adalah “korban”? Bukankah semua itu
terjadi bukan atas kehendak mereka
Untuk
mereka yang mengalami kasus perkosaan, sebagian dari kita mungkin
lebih menganjurkan agar mereka melakukan aborsi atas benih yang tidak
mereka kehendaki itu. Apalagi jika mengingat benih tersebut milik
orang jahat. Sebagian lagi mungkin berpikir sebaliknya. Siapa pun
bapaknya, dan bagaimana cara janin itu terbentuk, dia adalah ciptaan
Tuhan yang masih suci sehingga layak untuk dilindungi dan dijaga.
Pergolakan
bathin saya lebih pada apakah orang-orang seperti Marleen dan Melati
memang harus menerima penghakiman kita atas perbuatan mereka di masa
lalu? Sebagian dari kita akan mengatakan setuju karena mereka memang
harus menerima ganjaran atas dosa yang mereka perbuat. Sebagian
mungkin mengatakan Tuhan maha pengampun. Jika Marleen dan Melati
sudah bertobat atas kesalahan mereka di masa lalu, maka dosa mereka
sudah diampuni. Artinya mereka juga berhak hidup normal dan diterima
di masyarakat. Begitu juga anak-anak yang mereka lahirkan seharusnya
kita terima dengan lapang dada.
Saya,
dengan pemahaman agama yang dangkal, sering bertanya. Tuhan itu Maha
Adil dan Maha Kuasa. Dengan kekuasaan-Nya, jika Dia mau, Dia tentu
bisa melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya. Termasuk dalam kasus
Marleen dan Melati. Jika Tuhan mau, Dia pasti mencegah agar Marleen
dan Melati tidak terjerumus dalam percintaan terlarang yang
menyebabkan mereka melahirkan seorang bayi. Begitu juga jika Tuhan
berkehendak, maka tidak akan lahir seorang bayi dari peristiwa
perkosaan.
Sebaliknya,
jika kemudian Marleen, Melati, dan para perempuan korban perkosaan
akhirnya melahirkan sang bayi dengan selamat dan tumbuh sehat, adakah
Tuhan punya rencana atas semua itu? Rencana yang mungkin tidak mampu
dicerna dan dipahami oleh akal manusia yang terbatas? Jalan pemikiran
seperti ini tentu melahirkan pro dan kontra. Itu pula yang terjadi
dalam pergolakan bathin saya.
Apakah
Marleen dan remaja-remaja yang melahirkan karena hubungan seks bebas
itu layak mendapat penghakiman kita? Bukankah mereka juga korban dari
situasi rumah tangga dan lingkungan yang tidak mendukung? Apakah
Melati yang pernah “jatuh” akibat cinta buta di usianya yang muda
harus menerima vonis dari kita seumur hidupnya? Bukankah manusia juga
mahluk lemah yang bisa jatuh dalam dosa? Apakah pertobatan dan
tekadnya untuk terus merawat dan membesarkan sang anak tidak punya
nilai di mata kita?
Sepintas
pertanyaan saya seakan pembenaran atas perbuatan mereka. Tapi,
sejujurnya, ini memang pertanyaan yang menjadi pergolakan bathin saya
yang belum tuntas. Termasuk bagaimana nasib anak-anak yang lahir dari
kondisi semacam itu? Haruskah mereka disingkirkan dari pergaulan
masyarakat dan menderita seumur hidup?
Jika
saja mereka boleh memilih, tentu mereka ingin lahir dari hubungan
yang normal, yang sesuai nilai-nilai agama dan kaidah perkawinan.
Mereka juga ingin diakui dan diterima keberadaannya layaknya
anak-anak yang lain. Tapi jika “takdir” menghendaki lain,
haruskah kita menghakimi mereka atas perbuatan yang dilakukan
orangtua mereka?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar