Rudy
Hartono
Minggu,
26 Oktober 2008 23:52 WIB
6775
Dibaca
Tools
Box
Saya
sungguh beruntung. Pada saat umur sepuluh tahun, bisa berjabatan
tangan dengan Rudy Hartono. Peristiwa itu terjadi di Gelora Pancasila
Surabaya tahun 1970. Pertemuan itu memiliki makna yang luar biasa.
Sejak itu saya selalu bermimpi bisa menjadi seperti Rudy Hartono.
Saat
itu Rudy Hartono sedang melakukan pertandingan eksebisi. Saya bisa
menonton pertandingan tersebut karena “disusupkan” oleh paman
saya yang kebetulan penjaga keamanan di acara tersebut. Sejak
pertemuan itu, saya mengidolakan Rudy Hartono. Karena itu saya
tenggelam dalam kesedihan panjang ketika Rudy Hartono kalah melawan
Svend Pri, pemain Denmark, di Thomas Cup pada 1973 dan di All England
1975. Bahkan saat mendengar Rudy kalah melalui siaran langsung di
radio, saya menangis terisak-isak. Saya merana dalam waktu yang cukup
lama.
Tak
disangka, setelah 38 tahun berlalu, minggu lalu saya bertemu Rudy
Hartono. Seorang teman meminta saya untuk memandu acara ulang tahun
PT Pembangunan Jaya. Pembicaranya Rudy Hartono. Maka, ketika bertemu
untuk makan siang, saya ungkapkan perasaan saya 38 tahun lalu itu
kepadanya. Betapa seorang anak usia 10 tahun sangat bangga bisa
berjabat tangan dan kemudian terinsipirasi olehnya.
Saya
yakin banyak orang ingin seperti Rudy Hartono. Ingin menjadi juara.
Ingin disanjung dan dipuja karena prestasi yang luar biasa. Ingin
menjadi pahlawan. Ingin mendapat penghargaan. Termasuk penghargaan
materi.
Tetapi
setelah mendengar cerita Rudy Hartono, saya baru menyadari, tidak
semua orang bisa seperti Rudy Hartono. Banyak di antara kita yang
hanya melihat sang maestro sebagai juara All England delapan kali.
Sebagai pahlawan bulutangkis Indonesia. Tetapi berapa banyak dari
kita yang perduli bagaimana usaha keras yang dilakukan Rudy sebelum
menjadi juara?
“Setiap
hari, selama lima tahun, saya harus bangun jam lima pagi, berlari
puluhan kilometer, berlatih bulutangkis, baru kemudian berangkat
sekolah,” ujarnya. Di bawah bimbingan ayahnya yang “bertangan
besi”, Rudy digembleng spartan tanpa kenal lelah. Tidak ada waktu
untuk mengeluh. Tidak ada waktu untuk bercengeng-cengeng. “Waktu
itu rasanya ingin berontak. Sebagai remaja saya juga ingin bermain
seperti teman-teman yang lain. Tapi saya tidak bisa. Ayah saya
menggembleng saya sangat keras,” ungkap Rudy.
Pada
usia 15 tahun, disiplin dan kerja keras itu mulai berbuah. Satu per
satu prestasi dalam bulutangkis mulai diraih. Sampai kemudian pada
usia 18 tahun, usia yang terbilang sangat muda, Rudy berhasil
mempersembahkan piala All England bagi bangsa dan negara Indonesia.
“Saat itulah saya baru mensyukuri kerja keras dan disiplin yang
diajarkan ayah saya.”
Sejak
itu Rudy tak terbendung. Tujuh kali berturut-turut dia mempertahankan
piala All England. Sekali kalah dari Svend Pri pada 1975, tapi
kemudian pada tahun 1976 berhasil merebut gelar juara All England
untuk kedelapan kalinya setelah mengalahkan Liem Swi King di final.
Suatu prestasi yang sampai saat ini belum tertandingi oleh pemain
bulutangkis manapun.
Banyak
yang ingin menjadi seperti Rudy Hartono. Tapi berapa banyak di antara
kita yang mau menjalani proses latihan yang berat dan panjang? Kita
ingin menjadi Rudy Hartono tetapi tidak siap ketika dihadapkan pada
proses tadi. Kalau bisa prosesnya singkat dan mudah. Bimsalabim,
bangun pagi kita sudah menjadi juara. Tanpa harus “menderita”
setiap hari bangun jam lima pagi dan berlatih selama lima tahun tanpa
henti.
Dalam
pekerjaan juga begitu. Kita sering ingin segera menduduki jabatan
tinggi, tetapi enggan melalui proses jatuh bangun untuk mencapainya.
Semua kalau bisa serba instan. Serba cepat. Kalau bisa potong kompas.
Kita sering iri melihat seseorang yang mencapai sukses. Tetapi,
ketika dia bercerita betapa sulitnya perjuangan untuk mencapai posisi
itu, kita menutup mata dan telinga.
Dari
pembicaraan dengan Rudy Hartono siang itu, saya mendapat banyak
sekali pelajaran. Pelajaran untuk mencapai karakter seorang juara.
Semua yang dimiliki Rudy sungguh berguna untuk diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Terutama dalam pekerjaan.
Di
dalam pekerjaan, kita sering terperangkap dalam lingkaran setan.
Antara kepentingan perusahaan dan kepentingan karyawan. Dalam
bekerja, banyak di antara kita yang menuntut agar perusahaan memberi
imbalan atau gaji yang “pantas” terlebih dulu baru kita mau
mengerjakan tugas-tugas secara maksimal. Kalau tidak, kerja pas
bandrol saja. Ngapain capek-capek.
Di
lain pihak, manajemen berpikir sebaliknya. Karyawan dituntut untuk
memberikan yang terbaik dulu baru perusahaan akan memberikan imbalan
yang “pantas”. Maka jadilah lingkaran setan. Tidak tahu siapa
yang harus memutus lingkaran ini. Masing-masing merasa benar. Cuma,
kalau dibiarkan berlarut-larut, yang merugi biasanya karyawan.
Perusahaan bisa kapan saja “mendepak” karyawan yang dinilai tidak
berprestasi dan menggantikannya dengan karyawan baru.
“Prinsip
saya, berprestasi dulu baru penghargaan,” ujar Rudy Hartono. Dia
mengaku ketika berlatih dan bertanding, tidak ada sebersit pun dalam
pikirannya bahwa apa yang dilakukannya itu untuk mendapatkan imbalan.
“Saya fokus untuk mencapai kemenangan demi kemenangan tanpa
memperhitungkan apa yang akan saya dapatkan sebagai imbalan jika
juara,” Rudy Hartono menegaskan.
Maka,
ketika dia menjadi juara All England, penghargaan akhirnya datang
dengan sendirinya. Dari mulai hadiah uang, mobil, sampai rumah.
“Kalau Anda sudah berprestasi, dengan sendirinya penghargaan akan
datang.”
Pada
tahun 1972, Rudy bertemu kembali dengan Svend Pri di final. Ini final
yang paling menegangkan sepanjang penyelenggaraan All England.
Pasalnya, saat itu Rudy Hartono sudah ketinggalan 1 lawan 14. Satu
angka lagi Svend Pri akan juara.
Tapi,
sungguh sulit dipercaya ketika akhirnya justru Rudy yang tampil
sebagai juara. Jarak skor 1 lawan 14 tidak membuat dia menyerah. Satu
demi satu angka dia raih. Ketinggalan 13 poin bukan perkara gampang.
Banyak pemain pada posisi ini sudah menyerah. Rasanya tidak mungkin
bisa mengejar jarak yang begitu jauh.
Apa
yang membuat Rudy bisa memenangkan pertandingan saat itu? “Saya
mengikuti nasihat Ferry Sonneville,” ujar Rudy menyebut almarhum
pemain bultangkis Indonesia yang belakangan menjadi pelatih.
Waktu
itu, menurut Rudy, Ferry Soniville menasihati agar dia jangan
terpengaruh pada apa yang dilakukan lawan. Jangan perduli pada angka
dan taktik yang dikembangkan lawan. “Pak Ferry minta saya
memperhatikan permainan saya sendiri. Saya diminta berkonsentrasi
pada apa yang saya lakukan. Saya harus melakukan yang terbaik,”
ujarnya.
Sebuah
nasihat yang menohok perilaku banyak di antara kita. Dalam kehidupan
sehari-hari, terutama dalam pekerjaan, kita sering lebih sibuk
“mengurusi” pekerjaan orang lain ketimbang pekerjaan kita
sendiri. Kita lebih mau tahu urusan orang ketimbang mengurusi
tugas-tugas kita. Akibatnya, kita lebih sering mengatur dan
meyalahkan orang lain ketimbang introspeksi atas kekurangan kita.
Sungguh
beruntung hari itu saya bertemu Rudy Hartono. Sang juara mengingatkan
kembali pada hal-hal yang sering luput dari perhatian saya. Sesuatu
yang tampak sederhana namun sering saya abaikan. Termasuk satu
prinsip dalam hidupnya: Jangan menyakiti orang lain. Mengapa? “Karena
mereka akan mendoakan kita yang jelek-jelek,” ujar Rudy sebelum
kami berpisah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar