SUGENG
Senin,
05 Mei 2008 12:00 WIB
7100
Dibaca
Tools
Box
SUGENG
Ini rahasia yang saya simpan sejak kanak-kanak. Saya tinggal bersama
ibu dan dua kakak perempuan di Dinoyo Tangsi, sebuah gang sempit, di
Surabaya. Umur saya tujuh tahun dan duduk di kelas satu sekolah
dasar. Kulit saya putih dan rambut saya keemasan. Dengan kondisi
fisik seperti itu, saya tampak berbeda dari anak-anak di kampung di
situ. Di gang itu tinggal juga seorang anak yang kedua kakinya
lumpuh.
Untuk
menopang tubuhnya, dia menggunakan dua tongkat yang dijepit di
ketiaknya. Saya lupa namanya. Tapi wajahnya, sampai detik ini, tak
akan pernah saya lupakan. Saya sungguh-sungguh membencinya. Saya lupa
apa pekerjaan orangtuanya, tetapi yang saya ingat anak tersebut punya
sebuah sepeda roda tiga, yang mirip kereta bangsawan di Inggris, tapi
dengan ukuran yang jauh lebih kecil. Bangku yang tersedia untuk satu
orang tapi untuk anak-anak bisa berdua.
Guna
menjalankan kereta itu, anak tersebut menggunakan kedua tangannya
untuk mengayuh. Anak tersebut cukup duduk di jok, lalu tangannya yang
bekerja. Saya tidak ingat, apakah dia anak orang kaya (untuk ukuran
penduduk di kampung itu) atau kereta itu pemberian donator. Tapi, itu
tidak penting. Bukan masalah kereta yang ingin saya ceritakan di
sini. Namun kereta itu menjadi barang mewah di kampung kami. Terutama
bagi anak-anak seusia saya.
Sehari-hari
anak yang lumpuh tersebut memakai tongkat. Hanya pada saat-saat
tertentu dia menggunakan kereta. Itulah saat yang ditunggu-tunggu
oleh kami, para kanak-kanak di sepanjang Gang Dinoyo. Pasalnya, di
bagian belakang kereta ada pijakan yang bisa kami gunakan untuk
nggandol (numpang) saat kereta meluncur.
Namun
di sinilah masalahnya. Untuk bisa menumpang ada macam-macam
persyaratan. Selain harus membayar upeti, setiap penumpang harus
bersedia melakukan beberapa perintah anak tersebut sebelum diijinkan
nggandol di belakang kereta. Upeti atau bayaran disesuaikan dengan
musim permainan yang ada. Jika pada saat itu musim permainan karet
gelang, maka kami harus membayar dengan karet gelang untuk bisa
menumpang.
Begitu
juga jika sedang musim “gambar“ (gambar yg diambil dari
tokoh-tokoh komik, misalnya Batman dan Robin, Samson, dll, yang
dicetak kecil-kecil lalu digunting seukuran separuh kartu nama). Ini
permainan yang populer saat saya kanak-kanak. Kalau musim
layang-layang, kami harus setor layang-layang dulu. Jika tidak mampu
membayar upeti, jangan harap bisa nggandol di kereta ajaib itu.
Berani
coba-coba, kepala bisa benjol. Sebab pada saat naik kereta, anak yang
lumpuh itu tetap membawa kedua tongkatnya. Tongkat itu bisa berubah
menjadi senjata yang mengerikan dan sangat ditakuti karena
sewaktu-waktu bisa dipukulkan ke badan atau kepala kami yang
kecil-kecil. Satu hal yang sampai sekarang tidak saya mengerti, dalam
banyak kesempatan dia memperlihatkan kebenciannya kepada saya.
Beberapa
kali tongkatnya menyakiti badan atau kepala saya. Bahkan pada saat
saya tidak berminat nggandol keretanya, dia tetap saja berusaha
menyakiti saya. Usianya yang lebih tua dan kedua senjatanya yang
sangat saya takuti, membuat saya tidak berdaya. Apalagi dia selalu
mendapat perlindungan dari kakak-kakak lelakinya.
Sementara
saya waktu itu tinggal hanya dengan seorang ibu dan dua kakak
perempuan. Dua kakak laki-laki saya sudah di Jakarta ikut ayah. Sejak
itu saya sangat benci pada orang-orang yang menggunakan tongkat.
Dalam pikiran saya orang-orang yang kakinya tidak sempurna dan
menggunakan tongkat adalah orang-orang jahat. “Racun“ itu
menyebar di otak dan mengendap di hati saya untuk jangka waktu yang
lama.
Traumatis
yang saya alami dulu itu ternyata cukup parah. Setelah dewasa dan
memahami bahwa setiap individu berbeda, tingkat kebencian saya mulai
memudar. Tidak semua orang yang lumpuh kakinya jahat. Saya mencoba
melakukan detoksi agar “racun“ kebencian pada orang-orang yang
cacat kakinya terus berkurang. Namun trauma masa kanak sampai detik
ini sulit dihapus tuntas.
Bayangan
wajah dan perlakuan anak bertongkat yang saya terima di masa kanak
dulu ternyata mengendap di bawah alam sadar dan kadang masih mencuat
ke permukaan. Kalaupun saya mencoba mencari jawab mengapa dia
membenci saya, dugaan kuat karena ada darah Belanda mengalir dalam
tubuh saya. Darah Belanda ini tidak menjadi masalah ketika kita
tinggal di kota besar seperti Jakarta apalagi di jaman sekarang.
Tetapi pada masa awal 1960-an, dan jika kita tinggal di daerah
perkampungan, soal darah Belanda ini bisa menjadi “takdir“ yang
patut disesali.
Tinggal
di kampung dengan kulit yang lebih terang dari rata-rata anak-anak
kampung memang bisa menjadi persoalan tersendiri. Untuk jangka waktu
cukup lama saya menderita dilahirkan sebagai “anak Belanda“.
Sebab pada masa itu buku-buku sekolah dan pandangan para orangtua,
terutama yang wawasan dan pergaulannya terbatas, bermuatan kebencian
terhadap orang Belanda. Kala itu Belanda dianggap sebagai penjajah
yang harus dimusuhi. Saya sering disingkirkan dari pergaulana
anak-anak sebaya karena dicap “penjajah“. Saya menjadi musuh
bersama.
Bahkan
ada sebuah syair lagu dalam bahasa Jawa yang sampai sekarang tidak
akan pernah saya lupakan baitnya. Sebab lagu itu sering dinyanyikan
jika ada sekelompok anak-anak memusuhi saya. Bunyi syairnya begini:
…kowe arep nang di, Le ? Kulo bade gawe boto, Boto karo nggo opo,
Le Kanggo ngepruk Londo… (....kamu mau ke mana, Nak? Saya mau
membuat batu bata Batu bata untuk apa, Nak? Untuk memukul kepala
Belanda.) Mungkin itu dulu lagu perjuangan yang dinyanyikan di
desa-desa atau di kampung-kampung untuk memberi semangat bagi para
prajurit atau gerilyawan guna melawan penjajah Belanda.
Tapi
apakah saya harus memikul ‘’dosa keturunan’’ itu hanya karena
saya lahir dari rahim seorang perempuan yang memiliki darah Belanda
dalam tubuhnya ? Akibat sering dimusuhi dan diperlakukan seperti itu,
saya benci terlahir dengan darah Belanda mengalir di dalam tubuh
saya.
Di
rumah bahkan saya melarang ibu saya berbahasa Belanda. Sehingga ibu
sering mencuri-curi berbahasa Belanda dengan kakak-kakak saya jika
saya tidak di rumah.
Saya
juga benci Belanda. Gara-gara mereka saya jadi dimusuhi teman-teman.
Empat puluh tahun kemudian, saat saya mengundang Sugeng Siswoyudhono
di Kick Andy, saya teringat kembali pada teman yang masa kanak dulu
begitu saya benci. Teman yang dulu sering menganiaya saya dengan
kedua tongkatnya yang mengerikan itu.
Kehadiran
Sugeng di Kick Andy seakan sudah diatur oleh-Nya. Pertemuan dengan
Sugeng mengikis kebencian yang secara tidak sadar rupanya masih
mengendap di alam bawah sadar saya. Usai pertemuan dengan Sugeng saat
rekaman Kick Andy, hati saya terasa lapang. Plong. Saya semakin yakin
ini jalan yang dikehendaki Tuhan. Siapa bisa menyangka Kick Andy
menemukan Sugeng, seorang pemuda nun jauh di sebuah desa kecil di
Mojokerto, Jawa Timur? Pada saat duduk di kelas dua SMA Sugeng
mengalami kecelakaan sepeda motor. Akibat kecelakaan itu kaki
kanannya harus diamputasi. Tidak mudah bagi remaja aktif seusia dia
menerima kenyataan harus hidup selamanya dengan hanya satu kaki.
Tapi,
Sugeng membalikkan ratapan menjadi decak kekaguman. Bermula dari kaki
palsunya yang sudah rusak, Sugeng tidak sampai hati meminta orangtua
atau saudaranya untuk membelikan dia kaki palsu. Maka, dengan
pengetahuan yang terbatas, Sugeng mulai merancang dan membuat sendiri
kaki palsu untuknya.
Ternyata
kaki palsu dari fiber ciptaannya tersebut lebih nyaman dan lebih
ringan dari kaki palsu yang umum dipakai. Maka, singkat cerita, dari
mulut ke mulut banyak orang tahu soal kaki palsu buatan Sugeng.
Pesanan mulai mengalir.
Kaki
palsu buatan Sugeng juga relatif murah karena sejak awal tujuannya
memang lebih untuk membantu orang-orang yang tidak mampu. Bersama
sejumlah anak muda di desanya, Sugeng membuka “Bengkel“ kaki
palsu. Dari seorang yang seharusnya “dikasihani“, Sugeng yang
sehari-hari bekerja sebagai penjual susu botol ini, justru tampil
sebagai penolong orang-orang tak mampu.
Dalam
keterbatasannya, Sugeng rela memberi. Saya semakin bahagia ketika
mengetahui tayangan topik Sugeng tersebut ternyata menginspirasi
banyak penonton. Seorang suami di Pamulang, yang tadinya tidak mau
diamputasi dan patah semangat dalam menjalani hidupnya, tiba-tiba
bangkit dan bersemangat setelah menonton tayangan tersebut.
Jika
Sugeng bisa hidup – bahkan menikmati hidupnya – walau dengan satu
kaki, mengapa dia tidak bisa? Begitu pikirnya. Penonton lain, seorang
perempuan yang baru menikah, berusaha mencari alamat Sugeng. Dia
ingin tahu berapa harga sebuah kaki palsu buatan Sugeng. Perempuan
itu sekian lama sudah berusaha menabung dan ingin memberikan hadiah
kaki palsu untuk ayah tercinta.
Dia
dan keluarganya sedih melihat sang ayah, yang setelah kakinya
diamputasi, lebih sering mengurung diri di rumah. Sang ayah menarik
diri dari pergaulan karena merasa rendah diri. Dua perempuan dari
Surabaya, juga mengejar Sugeng karena ingin mendapatkan kaki palsu
buatan Sugeng guna diberikan kepada seorang sahabat mereka yang
mengalami kecelakaan dan kedua kakinya harus diamputasi sebatas paha.
Masih
banyak kisah lain yang kami baca di website www.kickandy.com, yang
menunjukkan betapa tayangan tentang Sugeng di Kick Andy memiliki
dampak yang luar biasa.
Tuhan
menunjukkan kembali kebesaran-Nya. Pertemuan saya dengan Sugeng saya
yakini bukan peristiwa yang tidak disengaja. Dengan cara-Nya, Tuhan
hendak menghapus prasangka buruk yang masih tersisa di alam bawah
sadar saya. Prasangka tentang orang-orang yang kakinya cacat.
Kehadiran Sugeng di Kick Andy memang membuat banyak orang
terinspirasi dan termotivasi.
Bagi
saya pribadi, pertemuan dengan Sugeng membersihkan trauma masa kanak
yang ternyata masih mengendap dalam hati saya, di bawah alam sadar.
Karena itu saya mensyukuri pertemuan saya dengan Sugeng. Tuhan,
terima kasih. Sejak bertemu pemuda berkaki palsu itu, hati saya jadi
plong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar