Mereka
Korban
Selasa,
03 Juli 2007 12:00 WIB
2165
Dibaca
Tools
Box
Pernahkah
melihat orang yang Anda cintai meregang nyawa di depan mata Anda?
Bagaimana perasaan Anda? Seperti itulah yang saya rasakan. Mungkin
menjadi lebih menyayat karena prosesnya lama dan menyakitkan .
Apalagi yang sedang meregang nyawa seorang anak muda yang baru saja
menginjak usia 20an.
Seharusnya
perjalanan keponakan saya itu masih panjang. Lebih panjang dari saya.
Tapi narkoba menghentikan langkahnya lebih awal. Dan saya tidak
berdaya. Dia pergi dengan cara yang tidak selayaknya.
Ada
perasaan sesak dalam hati. Apalagi adegan yang tidak bisa saya hapus
dari ingatan itu juga disaksikan ayah, ibu dan adik-adiknya. Dalam
kondisi sekarat, di balik alat bantu pernafasan, saya merasakan
betapa tatapan matanya seakan hendak meminta tolong. Tapi saya tidak
berdaya. Ayah dan ibunya pun tidak berdaya. Kedua adik perempuannya
juga tidak berdaya. Sementara dokter sudah menyatakan tidak bisa
berbuat apa-apa. Kami hanya bisa pasrah melihat sakratul maut
perlahan tapi pasti merampas nyawa keponakan saya dari raganya. Raga
yang kurus dan tak berdaya akibat daya tahan tubuh yang melorot ke
titik nadir.
Setelah
peristiwa itu, keponakan saya yang lain, Heymard, yang juga terjerat
dalam cengkeram barang-barang jahanam itu, mengirim sms kepada saya.
"Om, aku sadar akan tiba giliranku mati dengan cara yang sama.
Aku menyesal. Tapi semua sudah terlambat. Aku tidak tahu harus
berbuat apa. Aku pasrah."
Saya
memcoba memberinya semangat untuk tidak menyerah. Termasuk
mendorongnya masuk ke sebuah panti rehabilitasi di Jawa Tengah.
Sebuah keputusan yang berat karena saya telah memisahkannya dari
kedua orangtuanya dan dari lingkungan tempat dia tumbuh. Kedua
lingkungan yang ternyata menjerumuskan dia ke dalam lubang gelap
penuh ketidakpastian dan berujung kematian.
Ingatan
saya kembali ke tahun-tahun sebelumnya. Tahun-tahun di mana saya
menjaga Heymard ketika masih kanak-kanak, mengantarnya sekolah,
memandikannya, menyuapinya dan mencintainya dengan sepenuh hati.
Namun
setelah menikah dan berkeluarga, saya tidak dapat lagi mengikuti
dengan seksama pertumbuhan mereka satu per satu. Belakangan baru saya
tahu ternyata mereka tumbuh dalam situasi yang kurang mendukung. Baik
di dalam keluarga maupun di lingkungan sekitar tempat tinggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar