Dendam
Senin,
14 Mei 2007 12:00 WIB
2107
Dibaca
Tools
Box
“Harap
Anda camkan. Jangan sampai kami melakukan tindakan yang tidak Anda
kehendaki.” Begitu sms bernada “ancaman” yang saya terima. Itu
hanya satu dari sekian banyak sms senada yang masuk ke handphone saya
setelah Kick Andy mengangkat topik “Orang-orang Buangan”.
Topik
itu bercerita tentang sejumlah orang Indonesia yang dikirim belajar
ke berbagai negara oleh Bung Karno pada awal 1960-an. Namun ketika
Bung Karno “tumbang” dan digantikan rezim Orde Baru, sebagian
dari mereka yang pulang ditangkapi karena dituduh komunis. Sebagian
lagi memilih tinggal di luar negeri ketimbang pulang dan masuk bui.
Narasumber
yang hadir waktu itu antara lain Sobron Aidit (kini almarhum), adik
dari tokoh PKI DN Aidit, dan Koesalah Soebagyo Toer, adik kandung
pengarang Pramudya Ananta Toer. Kick Andy ingin mengangkat pergolakan
bathin mereka sebagai manusia (baca episode “Orang-orang Buangan”).
Sejumlah
orang gusar melihat tayangan tersebut. Saya dituduh memberikan
peluang bagi kebangkitan PKI. “Apa maksud Anda memberi ruang kepada
mereka untuk berbicara?” Begitu isi salah satu sms yang masuk.
“Anda tidak tahu betapa pedihnya kami keluarga yang menjadi korban
kekejaman PKI,” isi sms yang lain.
Masih
banyak kata-kata marah dan bernada mengancam. Bahkan seorang mantan
dirjen, yang masih kerabat Pak Harto, mengirimi saya sejumlah buku
yang menggambarkan kekejaman PKI dan bahaya laten komunis. Bahkan dia
menyebarkan nomor handphone saya kepada sejumlah “pendukung Orde
Baru“ yang marah atas tayangan itu. Merekalah – orang-orang yang
tidak saya kenal itu – yang kemudian mengirim sms di atas.
Teror
seperti itu sama sekali tidak membuat nyali saya ciut. Tapi saya
merasa adalah tidak etis menyebarkan nomor handphone seseorang kepada
orang-orang tak dikenal tanpa seijin pemiliknya. Juga karena sms yang
masuk dan bernada ancaman itu tak mengenal waktu. Bisa muncul jam
berapa saja, termasuk jam tiga pagi. Karena itu saya minta agar sang
dirjen menyuruh “teman-temannya“ berhenti meneror saya. Saya
dapat merasakan dendam yang luar biasa yang tersirat dari kata-kata
di sms itu. Maka saya bisa memahami ketika tokoh NU Salahuddin Wahid
dan anggota Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi, Samsuddin, mengaku
tidak mudah melakukan rekonsiliasi antar-berbagai pihak yang terlibat
dalam tragedi pemberontakan PKI. Dendam memang menghilangkan akal
sehat dan membutakan hati.
Ada
satu adegan menarik dalam film Spiderman 3. Ketika Peter Parker sang
Spiderman baru saja berhasil “menghabisi“ Sandman, yang diduga
sebagai pembunuh pamannya, dia segera melapor pada sang bibi. Peter
yang berharap sang bibi bahagia mendengar kabar tersebut, sungguh
kaget melihat reaksi sang bibi.
“Pamanmu,
Ben Parker, tidak akan suka melihat kita hidup dalam dendam. Jangan
biarkan dendam menguasai hatimu sebab dia akan menjadi racun yang
menyebar,“ begitu kurang lebih nasihat yang meluncur dari mulut
sang bibi. Peter Parker terkesiap.
Saya
pernah hidup membawa dendam selama lima tahun. Waktu berumur 14
tahun, saya berkenalan dengan kakak beradik dan kelompoknya yang
sungguh-sungguh jahat. Mereka mengajarkan saya mencuri burung dara,
mangga, benang gelasan pabrik (dari anak-anak orang kaya), puluhan
tandan pisang dari kebun, dan barang apa saja yang bisa dijual.
Pada
saat saya hendak keluar dari kelompok itu, saya diancam dan diteror.
Puncaknya, pada suatu malam, mereka mencegat dan memukuli saya. Satu
tendangan dari belakang membuat saya terjerembab dan pada saat yang
sama sebuah sepeda motor menggilas paha saya. Dengan paha terkelupas
dan berdarah, saya berhasil lolos.
Waktu
itu saya tidak berdaya. Selain mereka lebih besar, kelompok tersebut
memang dikenal sebagai anak-anak jalanan yang kejam. Saya tidak bisa
berharap perlindungan orangtua. Sebab saya tinggal hanya bersama ibu
yang juga tidak berdaya.
Sejak
peristiwa itu, saya berjanji dalam hati kelak akan membalas perlakuan
mereka itu. Tahun berganti tahun. Saya pindah ke Jayapura, Papua.
Kemudian ke Jakarta dan masuk STM. Ternyata waktu tak mampu mengikis
dendam masa kecil.
Suatu
hari, saya berkesempatan ke Surabaya. Dendam lama kembali berkobar.
Entah setan apa yang merasuki hati dan pikiran saya, malam itu saya
memutuskan untuk melakukan pembalasan atas peristiwa yang saya alami
lima tahun lalu. Saya menyiapkan sebuah pisau. Pisau itu akan saya
gunakan untuk menikam salah satu dari mereka.
Namun
dari seorang teman, saya mendapat kabar ternyata sang adik sudah
tewas dibunuh orang. Sedangkan sang kakak terakhir diketahui dalam
kondisi mengenaskan karena penyakit dan hidup dalam kondisi ekonomi
yang memprihatinkan. Tidak jelas dia kini tinggal di mana.
Entah
bagaimana masa depan saya jika upaya balas dendam itu benar-benar
terlaksana. Saya kemudian menyadari dengan cara-Nya Tuhan
menghindarkan saya dari upaya balas dendam. Sejak itu saya berjanji
untuk tidak memelihara bibit dendam sepanjang hidup saya. Sebab
dendam membutakan hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar