Mata
Hati
Senin,
23 April 2007 12:00 WIB
1929
Dibaca
Tools
Box
Mata
Hati Kalau ada penyesalan yang sampai sekarang masih menggangu
perasaan saya, itu adalah peristiwa kematian seorang perempuan di
tahun 1986. Waktu itu saya masih menjadi reporter dan penanggung
jawab Halaman Kota di Harian Bisnis Indonesia, Jakarta.
Sepulang
kerja, sekitar jam satu dinihari, saya naik angkot dari Salemba
menuju Blok M. Tepat di halte pemberhentian Bendungan Hilir, seorang
perempuan, saya taksir usianya sekitar 24 tahun, naik dengan
tergopoh-gopoh. Wajahnya tampak kalut. Matanya sebentar-sebentar
melihat ke jalanan gelap seakan ada yang mengejarnya. Saat mobil
hendak bergerak, seorang pria melompat naik. Saya ingat ada lima
penumpang saat itu. Seorang pria tua, dua pemuda, wanita tersebut,
pria yang baru saja naik, dan saya.
Wajah
wanita itu tampak pucat dan ketakutan. Matanya berkali-kali melihat
ke arah pria yang baru naik. Walau tanpa riasan, di keremangan malam
wanita tersebut terlihat cantik. Baju yang dipakainya sederhana saja.
Tapi kami semua, atau mungkin saya sendiri, bisa merasakan
kegelisahan wanita itu.
Baru
beberapa meter mobil berjalan, wanita tersebut tiba-tiba meminta
supir untuk berhenti. Tergopoh-gopoh, setengah melompat, dia turun.
Tak berapa lama pria tersebut juga melompat turun. Ada perasaan tak
enak dalam diri saya. Saya bisa membaca gelagat aneh dari kejadian
barusan. Hati saya berbisik agar saya ikut melompat turun dan melihat
apakah dugaan saya benar.
Saya
menduga wanita tersebut ketakutan dan mencoba menghindar dari pria
tadi. Ada dorongan untuk menolong wanita itu. Cukup lama hati dan
akal saya berdebat. Hati saya menyuruh segera turun. Akal saya
menolak karena fisik sudah lelah dan mengantuk. Bukankah kalau memang
wanita itu terancam dia akan berteriak minta tolong? Lusanya, ketika
membuka koran Pos Kota, mata saya tertuju pada satu berita di halaman
depan tentang seorang wanita muda yang mati terbunuh. Begitu melihat
foto wanita yang tewas tersebut, jantung saya rasanya berhenti. Wajah
itu masih lekat dalam ingatan saya. Begitu melihat tempat mayat
wanita itu ditemukan tidak jauh dari Bendungan Hilir, saya segera
minta kawan saya, seorang reporter yang biasa meliput di kamar
jenasah RSCM, menemani saya ke sana.
Sewaktu
petugas kamar mayat memperlihatkan jenasah tanpa identitas itu kepada
kami, badan saya langsung menggigil. Perasaan menyesal luar biasa
mengguncang nurani saya. Ah, seandainya malam itu saya turun, mungkin
wanita tersebut tak harus ditemukan dalam keadaan tak bernyawa.
Apalagi menurut dugaan polisi, sebelum dibunuh wanita itu diperkosa.
Bersama teman tadi saya lalu melapor ke pos polisi Bendungan Hilir.
Kepada petugas jaga saya menceritakan pengalaman saya malam itu. Juga
ciri-ciri dan pakaian yang dikenakan laki-laki yang saya curigai.
Tapi, apalah artinya semua itu? Perempuan itu sudah tiada.
Saya
sungguh menyesal. Penyesalan yang terlambat. Teman saya menghibur.
Menurut dia saya tidak perlu sampai harus menyesal seperti itu.
Kehidupan di Jakarta, katanya, memang keras dan sangat individual.
Kita tidak perlu tahu urusan orang. Begitu sebaliknya. Bahkan,
katanya, banyak orang yang berniat baik justru jadi korban.
Hendak
menolong orang yang kecopetan justru ditusuk hingga tewas oleh para
pencopet. Penjelasan teman yang sudah lebih lama hidup di Jakarta itu
tetap sulit saya terima. Karena itu, saya segera setuju ketika tim
Kick Andy menawarkan konsep talk show yang lebih mengasah hati
ketimbang akal. Sudah banyak talk show di televisi lain, juga di
Metro TV, yang dibuat untuk mengasah akal. Teman-teman ingin Kick
Andy lebih untuk mengasah hati.
Maka
hampir semua persoalan yang kami angkat di Kick Andy lebih
mengutamakan aspek kemanusiaannya. Aspek hati. Kami ingin penonton
memahami topik yang dibahas dengan hati, bukan dengan akal. Sebab 21
tahun lalu, saya menutup mata hati saya., dan sampai detik ini saya
masih merasakan penyesalan yang amat dalam. Seandainya saja malam itu
saya lebih menggunakan mata hati. Ah, seandainya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar