Penyesalan
Selasa,
07 Oktober 2008 11:39 WIB
10438
Dibaca
Tools
Box
Pernah
terlintas dalam hati saya sebuah keraguan. Apakah menuliskan curahan
hati saya di Andy’s Corner, yang kemudian diterbitkan menjadi buku,
adalah keputusan yang benar? Banyak rahasia hidup saya yang selama
ini tidak diketahui orang, terungkap di Andys’s Corner. Saya jadi
merasa telanjang.
Jika
akhirnya saya tetap menuliskan pergolakan bathin saya di Andy’s
Corner, itu lebih karena dorongan ingin berbagi. Dengan harapan apa
yang saya alami dan rasakan mudah-mudahan bisa menjadi cermin bagi
siapapun yang membacanya. Setidaknya bagi saya pribadi. Namun kadang
saya berharap kisah yang saya tulis tidak dibaca oleh orang-orang
yang saya singgung di dalam tulisan tersebut. Karena itu saya sempat
merasa ‘tidak enak hati’ ketika Mas Sentot, kakak Yanti, mengirim
komentar setelah membaca kisah ‘Yanti’ di Andy’s Corner. Saya
tidak menyangka ada keluarga Yanti yang membaca Andy’s Corner.
Dalam komentarnya, Mas Sentot menjelaskan bahwa Yanti sudah
meninggal.
Begitu
pula ketika saya bercerita tentang seorang teman yang tidak bahagia
karena harus menuruti keinginan orangtuanya untuk menjadi pegawai
negeri. Padahal dia ingin mengikuti ‘Lentera Jiwanya’ sebagai
jurnalis. Di dalam tulisan itu memang saya tidak menyebut nama. Tapi
setelah tulisan itu terbit, sang teman yang sudah sekian tahun tidak
jumpa rupanya membaca tulisan tersebut dan mengirim komentar. Dia
berterima kasih karena saya masih mengingatnya.
Nah,
yang paling saya khawatirkan adalah jika tulisan-tulisan saya di
Andy’s Corner dibaca oleh keponakan-keponakan saya atau orangtua
mereka (kakak-kakak saya). Sebab banyak cerita yang terlalu pribadi.
Salah satunya tentang kakak saya, Gaby, yang meninggal karena kanker
(Kematian 2). Saya berusaha agar anak-anak Gaby tidak membaca kisah
sedih tentang ibu mereka. Saya tidak ingin tulisan saya itu nantinya
akan membangkitkan kenangan mereka pada sang ibu tercinta.
Tetapi,
apa mau dikata, salah satu anak Gaby ternyata membaca kisah tersebut.
Setelah membaca kisah tentang ibunya, dia menulis surat untuk saya.
Isi surat itu membuat saya terpana. Saya tidak menyangka dia memikul
beban tersebut selama tujuh tahun. Atas seijin keponakan saya itu,
suratnya saya tampilkan di Andy’s Corner kali ini. Berikut
ringkasannya:
Dear
Om Andy,
Apa
kabar Om? Pada kesempatan ini aku ingin menceritakan sebuah kejadian
yang aku pendam lebih dari tujuh tahun. Kenapa baru aku ceritakan
sekarang? Karena aku baru saja membaca beberapa tulisan Om Andy
mengenai Bunda di Andy’s Corner. Karena itu aku memberanikan diri
untuk menceritakan hal ini ke Om Andy.
Ketika
aku SMP, sebelum Bunda divonis kanker oleh dokter, Bunda ingin aku
bisa masuk sebuah SMA favorit di Bogor. Tapi waktu itu aku tidak
terlalu berminat karena standar pendidikan terlalu tinggi dan aku
sadar biayanya sangat mahal. Aku tidak ingin menyusahkan Om Andy yang
selama ini sudah membantu menopang dan membiayai hidup kami.
Waktu
mendengar Bunda kena kanker, jujur saja aku dan adik-adik sangat
terpukul. Kami belum siap menghadapi kenyataan bahwa Bunda terkena
penyakit yang mematikan dan belum ada obatnya. Tapi seiring
perjalanan waktu, berkat nasihat Bunda, kami mulai siap menerima
kenyataan. Sejak itu pula aku berubah pikiran soal sekolah.
Seorang
anak tentu ingin membahagiakan orangtuanya. Apalagi kami yang tahu
bahwa waktu kami tak sebanyak anak lainnya untuk merasakan hangatnya
pelukan seorang ibu. Karena itu aku berusaha membuat Bunda bangga.
Aku ingin mewujudkan keinginan Bunda agar aku masuk SMA favorit itu.
Tapi jujur saja Om, aku takut. Aku takut gagal. Menurutku sangat
sulit untuk bisa lolos tes masuk SMA tersebut karena NEM-ku
pas-pasan.
Tapi
keinginan yang kuat untuk membanggakan Bunda mengalahkan perasaan
takut itu. Untungnya ada temanku yang mendukung keinginanku ini dan
mendorong aku untuk belajar. Singkat cerita, akhirnya aku ikut ujian.
Rabu, 11 Juli 2001, aku mendapat kado yang terindah dari Tuhan. Aku
dinyatakan lulus.
Setelah
pengumuman itu, aku bilang ke Dewi, Isti, Ella, Teguh, dan Oma agar
merahasiakan dulu keberhasilanku ini ke Bunda. Aku ingin membuat
kejutan buat Bunda. Aku ingin datang ke RS Dharmais dengan memakai
seragam SMA yang sangat diidam-idamkan Bunda. Aku sudah bisa
membayangkan bagaimana Bunda akan sangat bangga anaknya bisa masuk
sekolah favorit. Sudah terbayang wajah ceria Bunda, teriakan
bahagianya, dan linangan air mata kebanggaannya.
Jumat,
13 Juli 2001, Kak Nona telepon mengajak aku dan adik-adik berlibur ke
rumah Om Andy. Aku dan adik-adik semangat sekali bisa berlibur ke
rumah Om Andy walau hanya tiga hari karena Senin adalah hari pertama
masuk sekolah. Kak Nona akan jemput kami jam 13.00 WIB. Namun jam
11.00 temanku datang bersama ibunya. Mereka mengajak makan pizza
untuk merayakan keberhasilanku. Aku tidak bisa menolak. Lagipula aku
pikir toh nanti bisa menyusul ke Jakarta, ke rumah Om Andy, naik bus.
Waktu
aku sampai di rumah Om Andy, aku kaget karena Kak Nona dan adik-adik
juga baru tiba. Rupanya sebelum ke rumah Om Andy, Kak Nona dan
adik-adik mampir dulu nengok Bunda di rumah sakit. Adik-adik kecewa
dan marah sama aku. Mereka menyesali mengapa aku lebih memilih pergi
dengan teman ketimbang menengok Bunda. Jujur saja aku tidak tahu
kalau hari itu sebelum ke rumah Om Andy mereka ada rencana menengok
Bunda.
Aku
menyesal tidak ikut menjenguk Bunda. Namun aku mencoba mengobati
perasaan itu dengan mengatakan Sabtu depan aku akan datang ke RS
Dharmais untuk membuat surprise ke Bunda dengan memakai baju seragam
SMA ku yang baru. Setelah masa orientasi siswa selama seminggu
selesai, seragam baru akan dibagi. Itulah saatnya akan aku pakai dan
kuperlihatkan pada Bunda.
Senin,
16 Juli 2001, sekitar jam 03.00 dinihari ada orang mengetok-ngetok
pagar rumah. Oma yang membukakan pintu. Rupanya tetangga sebelah.
Samar-samar aku mendengar percakapan dia dan Oma. Tetangga itu
memberitahukan ada kabar dari RS Dharmais bahwa kondisi Bunda kritis.
Om, waktu itu aku sangat ketakutan. Aku menangis dan berdoa kepada
Tuhan supaya Bunda jangan ‘dipanggil’ dulu karena aku masih punya
kejutan untuknya.
Paginya
ketika aku dan adik-adik bersiap untuk berangkat ke sekolah, tetangga
sebelah rumah datang lagi dan meminta kami berkumpul. Dengan suara
sedih dia memberitahukan Bunda sudah meninggal. Kami terpana sejenak
kemudian isak tangis mulai meledak. Adik-adik menangis sambil
meneriakkan nama Bunda. Oma juga menangis berusaha untuk menenangkan
adik-adik. Pada saat itu aku berusaha menahan emosiku. Aku tidak mau
menangis di depan adik-adik. Aku tidak mau adik-adikku melihat
kakaknya menangis. Aku harus terlihat kuat di depan mereka. Bunda
selalu bilang kalau laki-laki itu harus kuat. Aku harus menjadi
pelindung bagi adik-adikku, aku harus menjadi contoh bagi mereka. Aku
berusaha terlihat tegar di depan adik-adik walaupun hatiku ingin
berteriak, ingin menangis.
Akhirnya
aku tetap berangkat ke sekolah. Namun sebelum berangkat aku mampir ke
rumah teman bunda yang anaknya juga temanku. Tadinya aku hanya
bermaksud memberitahu bahwa bunda telah meninggal. Tetapi saat mulut
ini ingin menyampaikan hal itu, linangan air mata tak terbendung. Aku
menangis. Dengan lembut teman bunda memeluk aku, berusaha mengurangi
kepedihan yang aku rasakan. Tetapi dalam dekapannya aku justru
semakin tak sanggup menahan emosi. Perasaan bersalah sekaligus
menyesal menghimpit dadaku. Perasaan yang terus menerus menyalahkan
diriku ini.
Mengapa,
mengapa aku tidak sempat memberikan surprise buat Bunda? Mengapa aku
tidak diberi kesempatan melihat raut wajah kebanggaan dan
kebahagiaannya? Mengapa aku lebih memilih menyimpan kabar bahagia itu
ketimbang segera menyampaikannya kepada Bunda? Mengapa aku lebih
memilih ditraktir makan pizza daripada menengok Bunda bersama
adik-adik untuk terakhir kalinya? Mengapa? Mengapa aku tidak mendapat
kesempatan itu?
Om,
ribuan pertanyaan terus menghantui aku selama ini. Penyesalan yang
begitu dalam, yang bahkan tak bisa aku ungkapkan lewat kata-kata ini,
terus aku simpan sendiri. Bahkan Dewi, Isti, Ella, dan Teguh tidak
ada yang tahu perasaanku ini. Waktu Oma masih hidup aku juga tidak
cerita. Aku terus menyimpan perasaan ini Om. Karena aku tahu ini
salahku, ini adalah keputusanku. Keputusanku ingin membuat surprise
untuk Bunda yang ternyata tidak sempat aku ungkapkan. Ini membuat
luka pada hati kecilku.
Sungguh
sulit untuk menerima kenyataan ini. Aku memang dipersiapkan Bunda
untuk selalu siap jika Tuhan menjemput Bunda. Tetapi aku sama sekali
tidak siap untuk hal ini Om. Aku tidak siap jika rencana surprise-ku
untuk Bunda ternyata tidak bisa aku laksanakan.
Tujuh
tahun telah berlalu setelah peristiwa itu. Namun rasa sakit dan
penyesalan ini ternyata masih membekas. Di saat aku menulis surat ini
pun beberapa kali air mataku tak terasa telah membasahi pipiku.
Setelah aku membaca curahan hati Om Andy mengenai Bunda di “Kematian
(2)” yang Om tulis di Andy’s Corner, aku tak kuasa untuk menulis
surat ini dan ingin menceritakan mengenai penyesalanku ini, yang
belum pernah aku ceritakan kepada siapa pun. Paling tidak sekarang
aku sudah lebih lega.
Terima
kasih ya Om sudah menyempatkan waktu untuk membaca suratku yang
panjang ini. Terima kasih juga sudah menjaga dan mengurusi aku dan
adik-adik. Kami beruntung memiliki keluarga seperti Om Andy dan Tante
Upiek yang rela mengorbankan banyak hal untuk kami. Sekali lagi
terima kasih ya Om. Semoga kelak aku bisa berhasil seperti Om Andy,
supaya aku bisa membuat bunda bahagia di surga.
Salam
hangat penuh cinta,
P.J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar