Bismilahirrohmannirrohim

Semoga selamat dan bahagia di dunia dan di akhirat

Kamis, 15 September 2011

Kanker


Kanker
Minggu, 13 Januari 2008 12:00 WIB
4827 Dibaca
Tools Box
Kanker Mata saya berkaca-kaca. Dada rasanya sesak. Pemandangan di hadapan saya tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Sejumlah anak, dengan masker di mulut, berjalan mendorong tiang beroda. Di atas tiang bergelantung tabung cairan infus. Dari ujung tabung melingkar seutas selang yang berujung di lengan atau kaki anak-anak itu. Melalui jarum infus, cairan di dalam tabung mengalir masuk ke tubuh mereka yang tampak lemas.
Sejak saat kami memilih mengangkat topik anak-anak penderita kanker di Kick Andy, saya mencoba mempersiapkan hati dan perasaan untuk menghadapi kondisi yang paling buruk. Tapi, ketika pada waktunya saya dihadapkan pada pemandangan di depan mata saya, toh hati ini terasa ditusuk-tusuk.
Pemandangan tersebut menggiring ingatan saya melayang kembali mengenang detik-detik sakratul maut menjemput nyawa kakak perempuan saya, ibu dari lima anak yang masih kecil-kecil. Ketika dokter memvonis kakak saya terkena kanker payudara stadium empat, saya melihat perempuan yang selalu ceria ini tiba-tiba luruh kehilangan daya. Tersungkur bagai benang basah. Dia menangis di bahu saya ketika kami berdua berada di ruang tunggu sebuah klinik.
Saya berusaha menguatkan hatinya. Kakak saya tidak siap menerima kenyataan ketika dokter ‘dengan wajah dan kata-kata yang dingin’ mengatakan kakak saya sebaiknya mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian karena tidak ada lagi upaya yang bisa dilakukan.
Sambil terus menangis kakak saya meminta saya berjanji untuk menjaga kelima anaknya. Dia ingin meyakinkan dirinya bahwa jika dia tiada kelak, kelima anaknya akan aman berada dalam asuhan saya, adik bungsunya. Setelah saya berjanji, hari-hari berikutnya saya melihat bagaimana kakak saya berlomba dengan waktu sebelum kematian menjemput.
Dia mempersiapkan kelima anak-anaknya yang masih kecil, dan tidak lagi memiliki ayah, untuk tabah dan menerima kenyataan mereka akan hidup tanpa ibu dan ayah. Hampir satu tahun menjelang ajalnya, saya melihat ketegaran yang luar biasa yang dipelrlihatkan kakak saya. Walau terbaring tanpa daya di rumah sakit, dengan dada yang hancur tak berbentuk, dia tetap berusaha ceria. Apalagi di hadapan anak-anaknya. Seusai terapi-kemo, proses yang membuatnya sangat menderita dan merontokkan seluruh rambutnya, kakak saya selalu berusaha bangkit dari tempat tidur dan mengunjungi pasien-pasien kanker lainnya.
Sejak kecil sifat yang sangat menonjol darinya adalah keingnan yang kuat untuk melayani dan membuat orang lain bahagia. Hal yang tetap dia lakukan walau dalam kondisi tubuh yang sangat lemah. Perempuan yang luar biasa tegar. Saya tidak pernah tahan melihat penderitaannya, terutama ketika perban di dadanya harus diganti.
Di tengah teriakan kesakitan yang tak terperi, kakak saya masih mencoba menghibur saya dengan lelucon-lelucon yang bagi saya terasa dipaksakan. Dia tidak ingin saya bersedih melihat penderitaannya. Setelah menderita hampir satu tahun lamanya, disaksikan kelima anaknya, akhirnya sang maut datang juga. Kalaupun ada yang membuat saya sedikit terhibur, itu karena permintaan terakhirnya terkabul.
Seminggu sebelum meninggal, kakak saya mengutarakan keinginanya bertemu Tessy Kabul Srimulat. Bagi saya, waktu itu, lebih mudah untuk menghadirkan menteri ketimbang Tessy. Saya banyak mengenal para menteri. Tapi Tessy? Jujur saja saya tidak pernah akrab dengan para seniman panggung dari kelompok Srimulat. Tapi, Tuhan menunjukkan kemahabesarannya. Melalui teman istri saya, cerita keinginan kakak saya ini sampai ke telinga Nico Siahaan. presenter yang baik hati ini lalu menyampaikan kepada Tessy bahwa ada seorang pasien kanker yang sedang menunggu ajal yang ingin bertemu dengannya, sebelum hembusan nafas terakhir.
Sekali lagi saya menyaksikan kuasa Tuhan yang luar biasa. Tessy, yang saat itu baru pulang dari sebuah show di Bogor, di tengah rasa lelah dan kantuk, malam itu menyempatkan diri datang ke RS Dharmais untuk menengok kakak saya. Pada momen itu saya tidak ada. Tapi sejumlah orang yang menjadi saksi mata menceritakan bagaimana bahagianya kakak saya saat bisa bertatap muka langsung dengan Tessy. Bahkan di tengah kondisinya yang sudah begitu parah, kakak saya masih bisa terbahak-bahak melihat tingkah laku Tessy yang sedang melucu.
Malam itu bangsal tempat kakak saya dirawat bahkan menjadi heboh dengan kedatangan Tessy sang pelawak. Esoknya, sisa-sisa keceriaan masih terlihat di wajah kakak saya. Bahkan dengan sisa-sisa tenaga yang masih dimilikinya, kakak saya menceritakan pengalaman indahnya bertemu sang idola. Seminggu kemudian dia pergi untuk selama-lamanya. Kenangan tentang kakak saya begitu kuat ketika saya kembali menjejakkan kaki di RS Dharmais.
Kali ini saya berkunjung ke bangsal anak-anak penderita kanker yang sedang dirawat di situ. tampak wajah sejumlah kanak-kanak tidak berdosa yang menahan penderitaan akibat penyakit yang ganas itu. Kanker memang penyakit yang luar biasa lihainya. Dia baru menunjukkan tanda-tanda kasat mata ketika sudah merasa kuat dan menguasai fisik korbannya. Karena itu pertolongan sering menjadi terlambat.
Seorang ibu yang anaknya di rawat di RSCM mengaku kaget dan bahagia ketika tim kick Andy berkunjung ke sana. 'Kami sering merasa kesepian. Merasa sendirian dalam menanggung beban ini,' ujarnya. Saya bisa merasakan nestapa yang dirasakan ibu tersebut.
Dia mewakili perasaan hampir semua orangtua yang anaknya menderita kanker. perasaan yang sama saya rasakan ketika orang yang kita cintai sekarat di depan mata kita. Sementara kita tak punya daya untuk menolong. Para orangtua yang saya temui di RS Dharmais dan RSCM sebagian besar dari kalangan tidak mampu. Selain harus menanggung rasa pedih menyaksikan buah hati mereka terkapar tanpa daya, mereka juga harus menghadapi kenyataan memikirkan beban hidup yang terasa semakin menghimpit.
Kick Andy ingin memotret kehidupan anak-anak yang tidak berdosa, yang harus menerima kenyataan bahwa mereka tidak sama dengan teman-temannya yang normal. Harapannya tentu agar mata kita menjadi terbuka, bahwa masih banyak anak-anak Indonesia yang hidupnya kurang beruntung dan membutuhkan kepedulian kita. Mereka ada di sudut-sudut kamar rumah sakit. Mereka nyata di hadapan kita. Mereka membutuhkan dukungan agar mereka bisa menghadapi hidup dengan lebih tegar. Kepedulian kita merupakan obat mujarab bagi anak-anak dan orangtua mereka. Agar mereka tidak merasa sendirian menanggung beban yang berat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar