Kanker
Minggu,
13 Januari 2008 12:00 WIB
4827
Dibaca
Tools
Box
Kanker
Mata saya berkaca-kaca. Dada rasanya sesak. Pemandangan di hadapan
saya tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Sejumlah anak,
dengan masker di mulut, berjalan mendorong tiang beroda. Di atas
tiang bergelantung tabung cairan infus. Dari ujung tabung melingkar
seutas selang yang berujung di lengan atau kaki anak-anak itu.
Melalui jarum infus, cairan di dalam tabung mengalir masuk ke tubuh
mereka yang tampak lemas.
Sejak
saat kami memilih mengangkat topik anak-anak penderita kanker di Kick
Andy, saya mencoba mempersiapkan hati dan perasaan untuk menghadapi
kondisi yang paling buruk. Tapi, ketika pada waktunya saya dihadapkan
pada pemandangan di depan mata saya, toh hati ini terasa
ditusuk-tusuk.
Pemandangan
tersebut menggiring ingatan saya melayang kembali mengenang
detik-detik sakratul maut menjemput nyawa kakak perempuan saya, ibu
dari lima anak yang masih kecil-kecil. Ketika dokter memvonis kakak
saya terkena kanker payudara stadium empat, saya melihat perempuan
yang selalu ceria ini tiba-tiba luruh kehilangan daya. Tersungkur
bagai benang basah. Dia menangis di bahu saya ketika kami berdua
berada di ruang tunggu sebuah klinik.
Saya
berusaha menguatkan hatinya. Kakak saya tidak siap menerima kenyataan
ketika dokter ‘dengan wajah dan kata-kata yang dingin’ mengatakan
kakak saya sebaiknya mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian
karena tidak ada lagi upaya yang bisa dilakukan.
Sambil
terus menangis kakak saya meminta saya berjanji untuk menjaga kelima
anaknya. Dia ingin meyakinkan dirinya bahwa jika dia tiada kelak,
kelima anaknya akan aman berada dalam asuhan saya, adik bungsunya.
Setelah saya berjanji, hari-hari berikutnya saya melihat bagaimana
kakak saya berlomba dengan waktu sebelum kematian menjemput.
Dia
mempersiapkan kelima anak-anaknya yang masih kecil, dan tidak lagi
memiliki ayah, untuk tabah dan menerima kenyataan mereka akan hidup
tanpa ibu dan ayah. Hampir satu tahun menjelang ajalnya, saya melihat
ketegaran yang luar biasa yang dipelrlihatkan kakak saya. Walau
terbaring tanpa daya di rumah sakit, dengan dada yang hancur tak
berbentuk, dia tetap berusaha ceria. Apalagi di hadapan anak-anaknya.
Seusai terapi-kemo, proses yang membuatnya sangat menderita dan
merontokkan seluruh rambutnya, kakak saya selalu berusaha bangkit
dari tempat tidur dan mengunjungi pasien-pasien kanker lainnya.
Sejak
kecil sifat yang sangat menonjol darinya adalah keingnan yang kuat
untuk melayani dan membuat orang lain bahagia. Hal yang tetap dia
lakukan walau dalam kondisi tubuh yang sangat lemah. Perempuan yang
luar biasa tegar. Saya tidak pernah tahan melihat penderitaannya,
terutama ketika perban di dadanya harus diganti.
Di
tengah teriakan kesakitan yang tak terperi, kakak saya masih mencoba
menghibur saya dengan lelucon-lelucon yang bagi saya terasa
dipaksakan. Dia tidak ingin saya bersedih melihat penderitaannya.
Setelah menderita hampir satu tahun lamanya, disaksikan kelima
anaknya, akhirnya sang maut datang juga. Kalaupun ada yang membuat
saya sedikit terhibur, itu karena permintaan terakhirnya terkabul.
Seminggu
sebelum meninggal, kakak saya mengutarakan keinginanya bertemu Tessy
Kabul Srimulat. Bagi saya, waktu itu, lebih mudah untuk menghadirkan
menteri ketimbang Tessy. Saya banyak mengenal para menteri. Tapi
Tessy? Jujur saja saya tidak pernah akrab dengan para seniman
panggung dari kelompok Srimulat. Tapi, Tuhan menunjukkan
kemahabesarannya. Melalui teman istri saya, cerita keinginan kakak
saya ini sampai ke telinga Nico Siahaan. presenter yang baik hati ini
lalu menyampaikan kepada Tessy bahwa ada seorang pasien kanker yang
sedang menunggu ajal yang ingin bertemu dengannya, sebelum hembusan
nafas terakhir.
Sekali
lagi saya menyaksikan kuasa Tuhan yang luar biasa. Tessy, yang saat
itu baru pulang dari sebuah show di Bogor, di tengah rasa lelah dan
kantuk, malam itu menyempatkan diri datang ke RS Dharmais untuk
menengok kakak saya. Pada momen itu saya tidak ada. Tapi sejumlah
orang yang menjadi saksi mata menceritakan bagaimana bahagianya kakak
saya saat bisa bertatap muka langsung dengan Tessy. Bahkan di tengah
kondisinya yang sudah begitu parah, kakak saya masih bisa
terbahak-bahak melihat tingkah laku Tessy yang sedang melucu.
Malam
itu bangsal tempat kakak saya dirawat bahkan menjadi heboh dengan
kedatangan Tessy sang pelawak. Esoknya, sisa-sisa keceriaan masih
terlihat di wajah kakak saya. Bahkan dengan sisa-sisa tenaga yang
masih dimilikinya, kakak saya menceritakan pengalaman indahnya
bertemu sang idola. Seminggu kemudian dia pergi untuk selama-lamanya.
Kenangan tentang kakak saya begitu kuat ketika saya kembali
menjejakkan kaki di RS Dharmais.
Kali
ini saya berkunjung ke bangsal anak-anak penderita kanker yang sedang
dirawat di situ. tampak wajah sejumlah kanak-kanak tidak berdosa yang
menahan penderitaan akibat penyakit yang ganas itu. Kanker memang
penyakit yang luar biasa lihainya. Dia baru menunjukkan tanda-tanda
kasat mata ketika sudah merasa kuat dan menguasai fisik korbannya.
Karena itu pertolongan sering menjadi terlambat.
Seorang
ibu yang anaknya di rawat di RSCM mengaku kaget dan bahagia ketika
tim kick Andy berkunjung ke sana. 'Kami sering merasa kesepian.
Merasa sendirian dalam menanggung beban ini,' ujarnya. Saya bisa
merasakan nestapa yang dirasakan ibu tersebut.
Dia
mewakili perasaan hampir semua orangtua yang anaknya menderita
kanker. perasaan yang sama saya rasakan ketika orang yang kita cintai
sekarat di depan mata kita. Sementara kita tak punya daya untuk
menolong. Para orangtua yang saya temui di RS Dharmais dan RSCM
sebagian besar dari kalangan tidak mampu. Selain harus menanggung
rasa pedih menyaksikan buah hati mereka terkapar tanpa daya, mereka
juga harus menghadapi kenyataan memikirkan beban hidup yang terasa
semakin menghimpit.
Kick
Andy ingin memotret kehidupan anak-anak yang tidak berdosa, yang
harus menerima kenyataan bahwa mereka tidak sama dengan
teman-temannya yang normal. Harapannya tentu agar mata kita menjadi
terbuka, bahwa masih banyak anak-anak Indonesia yang hidupnya kurang
beruntung dan membutuhkan kepedulian kita. Mereka ada di sudut-sudut
kamar rumah sakit. Mereka nyata di hadapan kita. Mereka membutuhkan
dukungan agar mereka bisa menghadapi hidup dengan lebih tegar.
Kepedulian kita merupakan obat mujarab bagi anak-anak dan orangtua
mereka. Agar mereka tidak merasa sendirian menanggung beban yang
berat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar