LENTERA
JIWA (sebuah jawaban)
Minggu,
28 September 2008 21:28 WIB
12447
Dibaca
Tools
Box
“Bang
Andy berani keluar dari Metro TV dan mengejar Lentera Jiwanya karena
Bang Andy sudah mapan secara finansial. Tapi bagaimana dengan mereka
yang jangankan untuk mengejar Lentera Jiwanya, untuk makan
sehari-hari saja sudah setengah mati. Seandainya Bang Andy belum
mapan, apakah Bang Andy juga berani keluar dari Metro TV untuk
mengejar Lentera Jiwa Bang Andy?”
Itu
salah satu komentar pembaca menanggapi tulisan saya “Lentera Jiwa”
di Andy’s Corner beberapa waktu lalu. Komentar senada juga tak
kalah banyak. Sebagian bahkan menganggap di jaman susah seperti
sekarang ini, bisa mendapat pekerjaan saja sudah harus bersyukur.
Boro-boro mengejar “Lentera Jiwa”.
Bayu,
seorang anak muda yang bertugas di imigrasi Bandara Soekarno-Hatta,
setelah melihat nama di paspor saya wajahnya langsung berubah
sumringah. Senyumnya melebar dan matanya menatap saya dengan
pandangan berbinar-binar (setidaknya itu yang saya rasakan). Dia
mengaku senang bertemu saya. Sebab, katanya, setelah membaca tulisan
‘Lentera Jiwa’, ada pertanyaan yang mengganggu pikirannya.
“Saya
ikut senang Pak Andy sudah menemukan Lentera. Cuma saya masih
penasaran, apakah setiap orang akan menemukan lentera jiwanya?”
Ujar Bayu penuh semangat. Dalam percakapan singkat saat ketika saya
hendak ke Boston itu, Bayu bercerita dia membaca tulisan “Lentera
Jiwa” yang saya tulis itu melalui milis yang dikirim ke alamat
emailnya. Pertanyaan Bayu itu tidak sempat saya jawab. Saya sudah
harus berangkat sementara dia juga sudah harus memeriksa paspor
penumpang lain.
Di
atas pesawat, pikiran saya masih terganggu oleh pertanyaan Bayu.
Apakah setiap orang akan menemukan Lentera Jiwanya? Pertanyaan yang
seakan mewakili pertanyaan banyak pembaca tulisan “Lentera Jiwa”.
Memang, setelah tulisan itu saya muat di Andy’s Corner, entah siapa
yang memulai, dalam tempo singkat tulisan tersebut beredar dari milis
ke milis, ke berbagai alamat email, dan akhirnya berbalik ke saya
melalui email, sms, bahkan facebook.
Tanggapan
atas tulisan itu macam-macam. Sudut pandangnya juga berbeda-beda.
Setiap orang memberikan tanggapan sesuai persepsi masing-masing.
Sungguh menarik. Bahkan ketika saya menjadi tamu di sebuah radio di
Kemang, yang mengangkat topik soal Lentera Jiwa, tanggapan yang masuk
juga beraneka ragam.
Sebagian
pendengar mengatakan dalam hal pekerjaan, mereka lebih mencari “aman”
dengan menjadi karyawan di sebuah karena risikonya lebih kecil.
Sementara pendengar lain mengaku lebih memilih berwirausaha daripada
bekerja untuk orang dan tidak bahagia. Lentera jiwa oleh mereka
dimaknai sangat sempit: Siapa yang bekerja untuk dirinya sendiri,
merekalah yang sudah menemukan lentera jiwanya. Sementara mereka yang
bekerja sebagai pegawai di perusahaan, adalah mereka yang belum
menemukan lentera jiwanya.
Menerjemahkan
lentera jiwa secara sempit seperti itu sungguh menyesatkan. Lentera
jiwa seseorang tidak ditentukan oleh apakah dia bekerja untuk orang
lain sebagai karyawan atau bekerja untuk dirinya sendiri. Lentera
jiwa seseorang juga tidak ditentukan oleh jabatan, pangkat, gaji,
atau jenis pekerjaan. Siapa pun dia, apapun pangkatnya, jabatannya,
dan apapun jenis pekerjaan serta berapa pun gajinya, dia bisa saja
menemukan lentera jiwanya.
Pangkat
tinggi, posisi di puncak, dan gaji besar bukan ukuran yang dipakai
untuk menilai apakah seseorang sudah menemukan lentera jiwanya atau
belum. Banyak yang yang memiliki kedudukan tinggi, gaji bedar,
ternyata tidak bahagia dalam pekerjaannya. Kalaupun dia tetap
bertahan, lebih karena faktor rasa aman, tidak berani mengambil
risiko, atau sudah pada tahap “nrimo” atas nasibnya. Orang
semacam ini belum menemukan lentera jiwanya.
Ukuran
yang paling sederhana untuk mengukur apakah dalam bekerja, dalam
berkarir, kita sudah menemukan lentera jiwa kita atau belum adalah
kebahagiaan. Apakah dalam mengerjakan tugas kita sehari-hari kita
bahagia? Tidak perduli apakah kita bekerja sebagai karyawan atau
wirausaha, apakah kita bahagia? Tidak perduli gaji kita kecil atau
besar, apakah kita senang mengerjakan tugas yang diberikan kepada
kita? Apakah kita mengerjakannya dengan hati atau sekadar demi
mempertahankan hidup?
Suatu
malam, menjelang toko-toko tutup di sebuah mega mall di Jakarta, saya
ke toilet. Ruangannya bersih dan harum. Ada dua petugas cleaning
service sedang bekerja. Mereka begitu ceria, begitu riang. Padahal di
tengah malam itu hampir semua orang sudah kehabisan enerji. Kok
mereka masih bersemangat? Karena penasaran, saya bertanya kepada
mereka mengapa terlihat ceria. Bukankah pekerjaan membersihkan toilet
pekerjaan yang tidak menyenangkan? Mereka balik menatap saya dengan
pandangan aneh. “Kami senang kok mengerjakannya,” ujar salah satu
dari mereka.
Beberapa
hari kemudian, seorang pembaca Andy’s Corner memberi komentar
tentang tulisan “Lentera Jiwa”. Isinya kurang lebih begini, “Pak
Andy, saya bekerja sebagai office boy. Saya bahagia mengerjakan
tugas-tugas saya karena saya bisa melayani orang lain. Saya sudah
menemukan Lentera Jiwa saya”.
Dua
kisah di atas mungkin bisa menunjukkan lentera jiwa itu bukan milik
mereka yang berkedudukan tinggi atau bergaji besar. Jika Anda bekerja
sebagai pegawai negeri dan Anda bahagia mengerjakan tugas-tugas Anda,
dan pekerjaan itu sesuai dengan cita-cita Anda sewaktu sekolah dulu,
boleh jadi Anda sudah menemukan lentera jiwa Anda. Begitu pula Anda
yang keluar dari pekerjaan Anda sebagai karyawan, dan mengambil
risiko meninggalkan kedudukan dan gaji tetap Anda, untuk merintis
usaha yang Anda sukai dan ternyata membuat Anda bahagia , bisa jadi
Anda juga sudah menemukan lentera jiwa Anda.
Kembali
ke pertanyaan Bayu tadi, apakah setiap orang bisa menemukan lentera
jiwanya? Jawabannya relatif. Ada yang sudah tahu lentera jiwanya ada
di tempat lain, bukan di tempat dia bekerja sekarang, tetapi dia
tidak berani atau tidak mampu menggapainya. Tidak mampu atau tidak
berani karena risiko yang dihadapi terlalu tinggi. Boleh jadi karena
dia harus memikirkan keluarga, anak, istri, atau suami. Memikirkan
orang-orang yang secara finansial bergantung padanya. Jika dia
meninggalkan pekerjaan yang sekarang untuk mengejar lentera jiwanya,
bisa jadi dia bahagia tetapi orang lain tidak.
Ada
juga yang sampai sejauh ini belum mengetahui secara persis apa
lentera jiwanya. Dia belum menemukan pekerjaan apa yang dapat
membuatnya bahagia dan bergairah untuk menjalaninya. Ada juga yang
karena tidak ada pilihan. Sudah mendapat pekerjaan yang sekarang saja
sudah patut disyukuri. Boro-boro mengejar lentera jiwanya.
Lentera
jiwa bukan persoalan salah atau benar. Tidak ada yang salah dan tidak
ada yang benar di sini. Persoalannya hanya pada keinginan kita untuk
mencari kebahagiaan sebagai manusia. Dalam hal ini konteksnya adalah
pekerjaan dan karir. Namun untuk mencapai kebahagiaan tersebut kadang
seseorang harus menempuh risiko.
Risiko
itulah yang juga saya tempuh ketika harus memilih apakah bekerja
untuk Majalah TEMPO yang sudah besar atau menjadi reporter di koran
Bisnis Indonesia yang baru diterbitkan. Juga ketika memilih pindah ke
Majalah MATRA justru pada saat karir saya di Bisnis Indonesia sedang
menanjak pesat. Bukannya jantung istri saya tidak mau copot ketika
saya memutuskan pindah dari MATRA, dalam posisi menuju pemimpin
redaksi, ke harian Media Indonesia yang baru bangkit setelah harian
Prioritas dibreidel.
Pada
saat itu, jangan ditanya soal finansial. Secara finansial saya jauh
dari mapan. Apalagi saya harus membantu kehidupan kakak-kakak saya.
Tetapi ada sesuatu dalam hati ini yang selalu menganggu. Sesuatu yang
terus mendorong saya untuk mendapatkan ‘’sesuatu’’. Sesuatu
yang membuat saya merasa bahagia. Mungkin itu yang kini saya sadari ,
bahwa “sesuatu” itu adalah “Lentera Jiwa” saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar