AYAH
Senin,
11 Agustus 2008 16:37 WIB
22614
Dibaca
Tools
Box
Ini
kejutan yang menyenangkan. Sewaktu rekaman Kick Andy dengan topik
‘’Suara Hati Kami’’, tiba-tiba Ahmad Albar muncul. Bukan
untuk ikut rekaman, tetapi menemani dua sahabatnya di God Bless , Ian
Antono dan Donny Fatah. Kedua sahabat Ahmad Albar itu memang sedang
rekaman untuk Kick Andy.
Kedatangan
Ahmad Albar juga sebagai wujud dukungannya bagi gerakan sejumlah
musisi untuk menggalang dana bagi para musisi senior yang pada masa
tuanya hidup merana. Mereka, para musisi yang pernah berjaya itu,
banyak yang kini terbring sakit tanpa daya dan tanpa dana. Untuk
itulah para musisi yang sekarang sedang berada di puncak ketenaran,
tergerak untuk menggalang donasi guna menolong para musisi senior
yang membutuhkan bantuan. Gerakan itu mereka beri nama “Suara Hati
Kami’’. Kick Andy mendukung niat baik tersebut.
Kedatangan
Ahmad Albar di studio segera menggiring ingatan pada almarhum ayah
saya. Sewaktu tinggal di Jayapura, saya berlangganan majalah Aktuil.
Majalah musik terbitan Bandung itu kerap melampirkan poster di tengah
halamannya. Di antara poster-poster itu, ada beberapa poster Ahmad
Albar. Poster-poster itulah yang saya tempel di seluruh dinding kamar
tidur. Kamar ukuran empat kali empat yang saya tempati berdua bersama
ayah.
Kamar
itulah rumah kami. Di dalam kamar yang sempit itu ada sebuah lemari
pakaian, satu meja makan, dua kursi, dan satu tempat tidur susun.
Sempit dan sesak. Untung ada jendela yang menghadap ke jalan. Dari
situ udara bisa leluasa masuk. Tidak terbayang jika jendela itu tidak
ada. Di kamar itulah saya dan ayah hidup berdua saja hampir satu
tahun lamanya.
Tidak
ada ruang lain selain kamar itu. Ayah mengontraknya dari pemilik
rumah. Ada tiga kamar di rumah itu. Satu dihuni pemilik rumah, satu
ditempati anak pemilik rumah berserta istri dan anaknya, dan satu
lagi ditinggali ayah dan saya. Jadilah rumah itu mirip kos-kosan.
Beruntung kami diberi pinjaman gudang di belakang rumah yang oleh
ayah disulap menjadi tempat menyimpan barang sekaligus dapur darurat.
Tuan rumah juga berbaik hati membolehkan kami memakai satu dari dua
kamar mandinya. Lumayan. Setidaknya pagi-pagi tidak perlu antre kalau
mau mandi.
Itulah
saat-saat saya lebih mengenal ayah saya, setelah sejak kecil harus
berpisah darinya. Sejak lahir bayangan tentang ayah begitu buram.
Saya hampir tidak mengenalnya jika saja foto-fotonya tidak dipajang
di rumah. Sejak kecil saya sudah berpisah dari ayah. Sewaktu kami --
ibu, kedua kakak perempuan, dan saya -- tinggal di Surabaya, figur
ayah tidak lagi berada di antara kami. Ayah sudah tinggal di Jakarta.
Ayah sedang berjuang untuk mencari nafkah, begitulah kata ibu jika
saya bertanya.
Sampai
suatu ketika saya mengetahui ayah sudah berada di Irian Barat. Di
Jayapura. Tempat yang katanya sangat jauh dan membutuhkan waktu
hampir sebulan naik kapal laut perjalanan ke sana. Saya merasa ayah
semakin jauh. Setelah itu sekian lama saya tidak lagi mendengar kabar
tentang ayah. Saya kadang lupa saya punya seorang ayah. Saya juga
lupa apakah saya pernah merindukannya. Hidup terus berlalu. Dari
tahun ke tahun, tanpa ayah.
Suatu
pagi ibu meminta saya berpakain rapih. Kakak-kakak saya semua sudah
dandan. Ibu juga tampak cantik hari itu. Lama saya tidak melihat ibu
berdandan. Hari itu kami akan ke Pelabuhan Tanjung Perak. Ada kapal
dari Jayapura yang akan berlabuh siang itu. Ayah akan datang. Hati
saya berdebar-debar. Apalagi ketika kapal mulai merapat. Kapal Pelni
itu terasa besar sekali di mata anak seusia 12 tahun. Saya lihat ibu
dan kakak-kakak juga gelisah. Saya berdebar-debar karena ingin
melihat sosok ayah yang selama ini cuma saya kenal dari cerita ibu
dan dari foto-fotonya. Seperti apakah sosok ayahku?
Sesosok
pria tinggi kurus muncul dari kerumunan penumpang, memeluk ibu dan
kakak-kakak saya, lalu dengan senyumnya yang lebar memeluk dan
menggendong saya. ‘’Ah, ini anakku? Sudah sebesar ini?’’ Ayah
tampak bangga.
Ayah
tinggal hanya seminggu. Setelah itu saya lupa ayah ke mana, tetapi
tidak lagi bersama kami. Belakangan saya baru tahu itu adalah upaya
rujuk yang tidak berhasil. Ayah dan ibu kemudian memilih hidup
berpisah lagi. Saya tidak punya ayah lagi.
Sekian
tahun kemudian ibu memanggil saya. Katanya ayah ingin agar saya dan
kakak perempuan saya ke Jayapura. Ayah sudah mendapat pekerjaan yang
dia yakini mampu menghidupi kami. Saya dan kakak diminta datang lebih
dulu ke Jayapura. Mungkin maksudnya sebagai tim pencari fakta. Bahasa
kerennya due diligent, agar ibu yakin kami bisa hidup tanpa
kekurangan di sana, di tanah papua.
Setelah
sebulan di Jayapura, kakak kembali ke Malang. Saya tinggal berdua
bersama ayah. Kami mengontrak satu kamar untuk berdua. Ayah berjanji
jika ibu mau menyusul, dia akan mengontrak sebuah rumah, bukan kamar
(janji yang tidak pernah bisa dia tepati karena selama di Jayapura
kami mengontrak dari kamar ke kamar).
Masa-masa
berdua bersama ayah, selama hampir setahun, membuat saya mengenal
ayah lebih dekat. Sosok yang pengembira. Pandai bergaul. Sosok yang
selalu hadir dengan lelucon-leluconnya yang membuat suasana menjadi
riang. Tiada hari tanpa canda. Ayah ternyata juga jago dansa. Dia
selalu ingin agar saya juga pandai berdansa. Keinginan yang tidak
sesuai dengan kata hati saya. Saya tidak suka dansa.
Semakin
lama saya semakin mengagumi lelaki kurus, tinggi, dan berambut
abu-abu itu. Ayah terlihat juga sangat bangga pada saya. Setidaknya,
dia selalu tidak sabar menunggu saat-saat menerima rapor di sekolah.
Di situlah saya melihat betapa ayah, dengan senyum kebanggaan seorang
ayah, melangkah ketika dipanggil pada urutan pertama. Pembagian rapor
selalu dimulai dengan urutan murid ranking teratas. Itulah saatnya
ayah menikmati kebanggaan di hadapan para orangtua murid lainnya.
Mulai
dari kelas satu Sekolah Teknik (ST) di Jayapura, prestasi belajar
saya lumayan. Setidaknya tidak pernah terlempar dari ranking tiga
besar. Ayah juga selalu menceritakan kebanggaannya, kepada
teman-temannya, tentang anaknya yang mengikuti jejaknya masuk sekolah
teknik.
Ayah
dulu bekerja sebagai teknisi di perusahaan perikanan. Dia bangga akan
masa lalunya. Dia bangga menjadi ‘orang teknik’. Mungkin itu
kebanggaan terakhir sebelum akhirnya dia harus menerima kenyataan di
ujung hidupnya dia hanya menjadi montir mesin tik.
Selama
hidup berdua dalam satu petak kamar, ayah dan saya selalu bergantian
memasak. Siapa yang pulang ke rumah (baca: kamar) lebih dulu, dia
yang memasak. Itulah aturannya. Yang pulang belakangan cuci piring.
Tetapi pada kenyataannya ayah yang lebih sering memasak sekaligus
mencuci piring. Belakangan saya yakin itu memang dia sengaja agar
saya bisa lebih fokus belajar ketimbang mengurus ‘persoalan rumah
tangga’.
Hidup
dengan anak yang menjelang remaja tentu tidak mudah bagi ayah.
Bayangkan, hampir setiap hari ayah harus mendengar musik ingar bingar
yang saya putar. Belum lagi – ya itu tadi – poster band-band
metal yang menempel hampir menutupi seluruh dinding kamar. Tetapi
ayah tidak pernah mengungkapkan perasaannya. Tidak sekalipun dia
menyatakan keberatan. Cuma sekali saja dia bertanya dengan nada
kurang mengerti, ketika saya menempelkan poster Ahmad Albar. Di
poster itu Ahmad Albar mengenakan jaket hijau dengan rumbai-rumbai di
leher tanpa mengenakan baju dalam. Dadanya terbuka. Wajahnya, di
bagian seputar mata, dicat warna-warni. Gaya yang mengingatkan saya
pada penyanyi Inggris Alice Cooper atau personal Band Kiss.
Menurut
ayah dandanan Ahmad Albar aneh. Dengan nada guyon dia bilang heran
mengapa saya memajang poster ‘arab gila’ (maaf Bung Iyek). Tetapi
toh ayah tidak meminta saya mencopot poster itu. Bahkan belakangan
dia kerap bertanya tentang sepak terjang Ahmad Albar yang saya baca
melalui majalah Aktuil. Kami lalu sering berdiskusi tentang para
musisi. Namun toh sebagai ‘teman sekamar’, ada kesepakaan di
antara saya dan ayah soal urusan musik. Senin sampai Jumat, saya
bebas menyetel musik-musik rock. Sementara Sabtu dan Minggu, saatnya
ayah menikmati musik hawaian atau musik-musik ‘ambon manise’.
Itulah saat di mana telinga saya mulai akrab dengan musik hawai, yang
dulu kerap dinyanyikan mantan Kapolri Hoegeng di TVRI.
Maka,
kehadiran Ahmad Albar di acara Kick Andy kembali menggiring saya pada
kenangan manis bersama ayah. Ketika kami menjadi lebih sebagai teman
ketimbang ayah dan anak. Itulah masa di mana saya mengenal lebih
dekat sosok ayah yang lama tidak saya rasakan kehadirannya dalam
hidup saya. Saya yakin Tuhan mengatur semua itu. Mengatur agar saya
punya waktu cukup untuk mengenal ayah. Sebelum maut menjemputnya.
Agar saya punya kenangan indah bersamanya.
Karena
itu saya suka sedih jika melihat ada hubungan anak dan orangtua yang
tidak harmonis. Sama seperti kisah Sisca Lawendatu yang pernah
diangkat di Kick Andy episode re-branding. Bagaimana selama 26 tahun
Sisca sengaja menjauh dari keluarganya karena merasa tidak mendapat
kasih sayang yang didambakannya. Sebaliknya, sang ayah, di hadapan
penonton di studio saat rekaman, mengaku tidak menyadari apa yang
dilakukannya ternyata menyakiti hati sang putri.
Hidup
begitu singkat. Kadang kita merasa tidak saling membutuhkan, tidak
saling mencintai, sampai maut akhirnya memisahkan kita. Akan lebih
berarti wujud cinta yang kita perlihatkan pada orang-orang tercinta
ketika mereka masih hidup, ketimbang air mata yang tumpah di pusara
yang tidak lagi bermakna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar