Bismilahirrohmannirrohim

Semoga selamat dan bahagia di dunia dan di akhirat

Kamis, 15 September 2011

Tali Cinta


Tali Cinta
Senin, 06 Agustus 2007 12:00 WIB
2313 Dibaca
Tools Box
Suatu hari ibu masuk ke kamar saat saya sedang berbaring. Saya ingat peristiwa itu terjadi tahun 1982, saat saya masih mahasiswa tingkat dua. Dia lalu ikut berbaring di sisi saya. Hal yang sudah lama tidak dilakukannya. Saya lalu teringat saat-saat saya masih kecil. Sebagai anak bungsu, saya selalu mendapat keistimewaan tidur bersama ibu, dalam kehangatan pelukannya.
Sampai suatu ketika terjadi peristiwa yang membuat hati saya hancur dan sejak itu saya mulai "memusuhi" ibu sampai bertahun-tahun lamanya. Bahkan sampai saya dewasa. Sejak itu hubungan saya dan ibu menjadi hubungan yang "aneh". Setidaknya itu yang saya rasakan. Ada amarah yang terpendam dalam hati saya. Saya lalu menunjukkannya dengan melawan dan berbuat sesuatu yang membuat ibu sedih. Saya lalu tumbuh jadi anak nakal. Bergaul dengan anak-anak jalanan. Jarang pulang ke rumah. Tidur beratapkan langit, di emper-emper rumah orang. Jika ada orang kampung tahlilan, saya selalu ikut "meramaikan". Selain bisa numpang tidur di atas tikar yang hangat, saya juga bisa menikmati aneka makanan. Kadang kehadiran saya di antara mereka menarik perhatian. "Iki anake sopo?" pertanyaan itu kerap terdengar sebelum saya terlelap. Mereka tentu bingung melihat seorang anak yang tidak dikenal tidur di antara mereka. "Koyoke anake londo". Kulit saya yang putih dan kontras dengan anak-anak kampung membuat saya sering dibilang "anaknya orang Belanda".
Usia saya masih 12 tahun. Tapi saya memberontak dan lebih sering hidup di jalanan. Sekolah tahun itu berantakan. Dari sekadar iseng, saya mulai ikut-ikutan mencuri. Saya dan anak-anak jalanan sering cari makan di kebun binatang dekat rumah saya(dengan melompat tembok belakang setinggi tiga meter). Setiap pagi hewan-hewan diberi makan. Kami biasa bersembunyi di kandang burung unta yang terbuka. Setelah petugas pergi, kami mencuri buah-buahan makanan burung unta dan memilah-milahnya. Buah favorit kami pisang. Bagian yang kotor kami buang, yang masih bersih dimakan.
Kemarahan saya pada ibu bermula ketika saya mengetahui dia menjalin hubungan dengan seorang pria, di belakang punggung ayah. Saat itu saya sulit menerima kenyataan ada laki-laki lain di samping ibu selain ayah. Saya marah, saya sakit hati, dan saya berontak untuk menunjukan protes.
Belakangan baru memahami mengapa semua itu terjadi. Ayah dan ibu memang memilih untuk berpisah. Karena bungsu dan masih kecil, hanya kepada saya kondisi itu dirahasiakan. Sejak itu saya hanya diasuh oleh ibu. Jika saya bertanya tentang ayah, ibu dan kakak-kakak saya selalu menjawab ayah sedang berusaha mencari pekerjaan di Irian Barat.
Untuk bertahan hidup ibu menjahit. Ibu juga pernah menjadi kasir di sebuah restoran tapi kemudian keluar. Saya cuma mendengar ibu mengeluh pekerjaan itu tidak sesuai dengan pendidikan dan panggilan jiwanya. Apalagi subuh-subuh dia sudah dijemput "mobil sayur" dan harus meninggalkan kami anak-anaknya mengurus diri sendiri sebelum berangkat sekolah.
Sekarang saya menyadari bagaimana perjuangan ibu sebagai orangtua tunggal yang harus menghidupi dan membesarkan anak-anaknya seorang diri. Tapi waktu itu, hati kanak-kanak saya tidak bisa menerima "orang lain" selain ayah yang lebih saya kenal melalui foto-fotonya.
Hubungan antara saya dan ibu sejak itu memang menjadi renggang. Saya mencoba memahami tindakan ibu, tapi hati saya sulit memaafkan. Perasaan itu terus saya bawa hingga dewasa. Bahkan ketika ayah dan ibu mencoba untuk membangun kembali mahligai perkawinan mereka yang berantakan, sekian tahun kemudia, entah mengapa hati saya tetap sulit memaafkan.
Sampai pada hari itu, ketika ibu masuk ke kamar saya, pada 1982. Sambil berbaring di samping saya, air matanya mengalir di pipinya. "Boleh ibu tanya sesuatu," ujarnya lirih. Saya mengangguk. "Ibu merasa sekian tahun lamanya kamu seakan memendam sesuatu. Kamu marah pada ibu?"
Saya terhenyak. Perasaan saya campur aduk. Sekian lama saya mencoba menghindar dari pembicaraan seperti ini. Saya tidak pernah siap untuk mengungkapkan apa yang saya rasakan. Saya selalu berusaha mengabaikannya dan membohongi diri saya bahwa pengalaman masa kecil dulu itu sudah saya pendam dalam-dalam.
Sembari berlinang air mata saya kemudian mengungkapkan betapa saya kecewa dan marah pada ibu karena saya merasa dibohongi, merasa disakiti, ketika diam-diam ibu menjalin cinta dengan dengan pria lain.
Saya ceritakan betapa galaunya seorang bocah yang bangun tengah malam dan dan mendapati sang ibu tercinta tidak berada di sisinya. Betapa gundahnya hati seorang bocah yang berlari di jalanan di tengah malam mencari ibunya.
Ibu lalu memeluk saya. Dia tidak menyangka saya memendam perasaan itu bertahun-tahun lamanya. Dia tidak pernah tahu kejadian ini. Dia tidak tahu bahwa bocah kecilnya itu tersakiti. Ibu lalu meminta maaf sembari menjelaskan bahwa dia manusia biasa. Manusia yang membutuhkan seseorang yang mencintainya, menjaganya, dan menjadi teman berbagi cerita, terutama ketika beban terasa berat.
Kini ibu sudah tiada. Dia meninggal akibat kanker. Jika ada yang saya sesali dalam hubungan dengan ibu, saya kehilangan banyak waktu yang seharusnya dapat saya lalui dengan indah bersama ibu.
Kisah Kiyati menyadarkan kita semua betapa hubungan anak dan orangtua begitu berharga. Banyak anak kehilangan kesempatan untuk mendapat kasih sayang dari orangtua karena keadaan. Begitu pula sebaliknya. Tetapi lebih banyak lagi anak-anak yang tidak mereguk kasih sayang justru ketika mereka hidup bersama ayah dan ibunya. Sebaliknya banyak anak yang tidak memberi perhatian dan kasih sayang kepada orangtua karena hubungan yang terlalu rutin.
Kisah Rene dan Kiyati menggugah kesadaran kita semua, termasuk saya, betapa berharganya jalinan cinta kasih antara anak dan orangtua. Betapa indahnya hubungan itu sehingga jangan sampai kita abaikan dan kemudian menyesalinya di kemudian hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar