Tali
Cinta
Senin,
06 Agustus 2007 12:00 WIB
2313
Dibaca
Tools
Box
Suatu
hari ibu masuk ke kamar saat saya sedang berbaring. Saya ingat
peristiwa itu terjadi tahun 1982, saat saya masih mahasiswa tingkat
dua. Dia lalu ikut berbaring di sisi saya. Hal yang sudah lama tidak
dilakukannya. Saya lalu teringat saat-saat saya masih kecil. Sebagai
anak bungsu, saya selalu mendapat keistimewaan tidur bersama ibu,
dalam kehangatan pelukannya.
Sampai
suatu ketika terjadi peristiwa yang membuat hati saya hancur dan
sejak itu saya mulai "memusuhi" ibu sampai bertahun-tahun
lamanya. Bahkan sampai saya dewasa. Sejak itu hubungan saya dan ibu
menjadi hubungan yang "aneh". Setidaknya itu yang saya
rasakan. Ada amarah yang terpendam dalam hati saya. Saya lalu
menunjukkannya dengan melawan dan berbuat sesuatu yang membuat ibu
sedih. Saya lalu tumbuh jadi anak nakal. Bergaul dengan anak-anak
jalanan. Jarang pulang ke rumah. Tidur beratapkan langit, di
emper-emper rumah orang. Jika ada orang kampung tahlilan, saya selalu
ikut "meramaikan". Selain bisa numpang tidur di atas tikar
yang hangat, saya juga bisa menikmati aneka makanan. Kadang kehadiran
saya di antara mereka menarik perhatian. "Iki anake sopo?"
pertanyaan itu kerap terdengar sebelum saya terlelap. Mereka tentu
bingung melihat seorang anak yang tidak dikenal tidur di antara
mereka. "Koyoke anake londo". Kulit saya yang putih dan
kontras dengan anak-anak kampung membuat saya sering dibilang
"anaknya orang Belanda".
Usia
saya masih 12 tahun. Tapi saya memberontak dan lebih sering hidup di
jalanan. Sekolah tahun itu berantakan. Dari sekadar iseng, saya mulai
ikut-ikutan mencuri. Saya dan anak-anak jalanan sering cari makan di
kebun binatang dekat rumah saya(dengan melompat tembok belakang
setinggi tiga meter). Setiap pagi hewan-hewan diberi makan. Kami
biasa bersembunyi di kandang burung unta yang terbuka. Setelah
petugas pergi, kami mencuri buah-buahan makanan burung unta dan
memilah-milahnya. Buah favorit kami pisang. Bagian yang kotor kami
buang, yang masih bersih dimakan.
Kemarahan
saya pada ibu bermula ketika saya mengetahui dia menjalin hubungan
dengan seorang pria, di belakang punggung ayah. Saat itu saya sulit
menerima kenyataan ada laki-laki lain di samping ibu selain ayah.
Saya marah, saya sakit hati, dan saya berontak untuk menunjukan
protes.
Belakangan
baru memahami mengapa semua itu terjadi. Ayah dan ibu memang memilih
untuk berpisah. Karena bungsu dan masih kecil, hanya kepada saya
kondisi itu dirahasiakan. Sejak itu saya hanya diasuh oleh ibu. Jika
saya bertanya tentang ayah, ibu dan kakak-kakak saya selalu menjawab
ayah sedang berusaha mencari pekerjaan di Irian Barat.
Untuk
bertahan hidup ibu menjahit. Ibu juga pernah menjadi kasir di sebuah
restoran tapi kemudian keluar. Saya cuma mendengar ibu mengeluh
pekerjaan itu tidak sesuai dengan pendidikan dan panggilan jiwanya.
Apalagi subuh-subuh dia sudah dijemput "mobil sayur" dan
harus meninggalkan kami anak-anaknya mengurus diri sendiri sebelum
berangkat sekolah.
Sekarang
saya menyadari bagaimana perjuangan ibu sebagai orangtua tunggal yang
harus menghidupi dan membesarkan anak-anaknya seorang diri. Tapi
waktu itu, hati kanak-kanak saya tidak bisa menerima "orang
lain" selain ayah yang lebih saya kenal melalui foto-fotonya.
Hubungan
antara saya dan ibu sejak itu memang menjadi renggang. Saya mencoba
memahami tindakan ibu, tapi hati saya sulit memaafkan. Perasaan itu
terus saya bawa hingga dewasa. Bahkan ketika ayah dan ibu mencoba
untuk membangun kembali mahligai perkawinan mereka yang berantakan,
sekian tahun kemudia, entah mengapa hati saya tetap sulit memaafkan.
Sampai
pada hari itu, ketika ibu masuk ke kamar saya, pada 1982. Sambil
berbaring di samping saya, air matanya mengalir di pipinya. "Boleh
ibu tanya sesuatu," ujarnya lirih. Saya mengangguk. "Ibu
merasa sekian tahun lamanya kamu seakan memendam sesuatu. Kamu marah
pada ibu?"
Saya
terhenyak. Perasaan saya campur aduk. Sekian lama saya mencoba
menghindar dari pembicaraan seperti ini. Saya tidak pernah siap untuk
mengungkapkan apa yang saya rasakan. Saya selalu berusaha
mengabaikannya dan membohongi diri saya bahwa pengalaman masa kecil
dulu itu sudah saya pendam dalam-dalam.
Sembari
berlinang air mata saya kemudian mengungkapkan betapa saya kecewa dan
marah pada ibu karena saya merasa dibohongi, merasa disakiti, ketika
diam-diam ibu menjalin cinta dengan dengan pria lain.
Saya
ceritakan betapa galaunya seorang bocah yang bangun tengah malam dan
dan mendapati sang ibu tercinta tidak berada di sisinya. Betapa
gundahnya hati seorang bocah yang berlari di jalanan di tengah malam
mencari ibunya.
Ibu
lalu memeluk saya. Dia tidak menyangka saya memendam perasaan itu
bertahun-tahun lamanya. Dia tidak pernah tahu kejadian ini. Dia tidak
tahu bahwa bocah kecilnya itu tersakiti. Ibu lalu meminta maaf
sembari menjelaskan bahwa dia manusia biasa. Manusia yang membutuhkan
seseorang yang mencintainya, menjaganya, dan menjadi teman berbagi
cerita, terutama ketika beban terasa berat.
Kini
ibu sudah tiada. Dia meninggal akibat kanker. Jika ada yang saya
sesali dalam hubungan dengan ibu, saya kehilangan banyak waktu yang
seharusnya dapat saya lalui dengan indah bersama ibu.
Kisah
Kiyati menyadarkan kita semua betapa hubungan anak dan orangtua
begitu berharga. Banyak anak kehilangan kesempatan untuk mendapat
kasih sayang dari orangtua karena keadaan. Begitu pula sebaliknya.
Tetapi lebih banyak lagi anak-anak yang tidak mereguk kasih sayang
justru ketika mereka hidup bersama ayah dan ibunya. Sebaliknya banyak
anak yang tidak memberi perhatian dan kasih sayang kepada orangtua
karena hubungan yang terlalu rutin.
Kisah
Rene dan Kiyati menggugah kesadaran kita semua, termasuk saya, betapa
berharganya jalinan cinta kasih antara anak dan orangtua. Betapa
indahnya hubungan itu sehingga jangan sampai kita abaikan dan
kemudian menyesalinya di kemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar