EMPATI
08
2008 16:24 WIB
2763
Dibaca
Tools
Box
Suatu
malam, sepulang kerja, saya mampir di sebuah restoran cepat saji di
kawasan Bintaro. Suasana sepi. Di luar hujan. Semua pelayan sudah
berkemas. Restoran hendak tutup. Tetapi mungkin melihat wajah saya
yang memelas karena lapar, salah seorang dari mereka memberi aba-aba
untuk tetap melayani. Padahal, jika mau, bisa saja mereka menolak.
Sembari
makan saya mulai mengamati kegiatan para pelayan restoran. Ada yang
menghitung uang, mengemas peralatan masak, mengepel lantai dan ada
pula yang membersihkan dan merapikan meja-meja yang berantakan.
Saya
membayangkan rutinitas kehidupan mereka seperti itu dari hari ke
hari. Selama ini hal tersebut luput dari perhatian saya. Jujur saja,
jika menemani anak-anak makan di restoran cepat saji seperti ini,
saya tidak terlalu hirau akan keberadaan mereka. Seakan mereka antara
ada dan tiada. Mereka ada jika saya membutuhkan bantuan dan mereka
serasa tiada jika saya terlalu asyik menyantap makanan.
Namun
malam itu saya bisa melihat sesuatu yang selama ini seakan tak
terlihat. Saya melihat bagaimana pelayan restoran itu membersihkan
sisa-sisa makanan di atas meja. Pemandangan yang sebenarnya
biasa-biasa saja. Tetapi, mungkin karena malam itu mata hati saya
yang melihat, pemandangan tersebut menjadi istimewa.
Melihat
tumpukan sisa makan di atas salah satu meja yang sedang dibersihkan,
saya bertanya-tanya dalam hati: siapa sebenarnya yang baru saja
bersantap di meja itu? Kalau dilihat dari sisa-sisa makanan yang
berserakan, tampaknya rombongan yang cukup besar. Tetapi yang menarik
perhatian saya adalah bagaimana rombongan itu meninggalkan sampah
bekas makanan.
Sungguh
pemandangan yang menjijikan. Tulang-tulang ayam berserakan di atas
meja. Padahal ada kotak-kotak karton yang bisa dijadikan tempat
sampah. Nasi di sana-sini. Belum lagi di bawah kolong meja juga kotor
oleh tumpahan remah-remah. Mungkin rombongan itu membawa anak-anak.
Meja
tersebut bagaikan ladang pembantaian. Tulang belulang berserakan.
Saya tidak habis pikir bagaimana mereka begitu tega meninggalkan
sampah berserakan seperti itu. Tak terpikir oleh mereka betapa
sisa-sisa makanan yang menjijikan itu harus dibersihkan oleh
seseorang, walau dia seorang pelayan sekalipun.
Sejak
malam itu saya mengambil keputusan untuk membuang sendiri sisa
makanan jika bersantap di restoran semacam itu. Saya juga meminta
anak-anak melakukan hal yang sama. Awalnya tidak mudah. Sebelum ini
saya juga pernah melakukannya. Tetapi perbuatan saya itu justru
menjadi bahan tertawaan teman-teman. Saya dibilang sok
kebarat-baratan. Sok menunjukkan pernah ke luar negeri. Sebab di
banyak negara, terutama di Eropa dan Amerika, sudah jamak pelanggan
membuang sendiri sisa makanan ke tong sampah. Pelayan terbatas karena
tenaga kerja mahal.
Sebenarnya
tidak terlalu sulit membersihkan sisa-sisa makanan kita. Tinggal
meringkas lalu membuangnya di tempat sampah. Cuma butuh beberapa
menit. Sebuah perbuatan kecil. Tetapi jika semua orang melakukannya,
artinya akan besar sekali bagi para pelayan restoran.
Saya
pernah membaca sebuah buku tentang perbuatan kecil yang punya arti
besar. Termasuk kisah seorang bapak yang mengajak anaknya untuk
membersihkan sampah di sebuah tanah kosong di kompleks rumah mereka.
Karena setiap hari warga kompleks melihat sang bapak dan anaknya
membersihkan sampah di situ, lama-lama mereka malu hati untuk
membuang sampah di situ.
Belakangan
seluruh warga bahkan tergerak untuk mengikuti jejak sang bapak itu
dan ujung-ujungnya lingkungan perumahan menjadi bersih dan sehat.
Padahal tidak ada satu kata pun dari bapak tersebut. Tidak ada
slogan, umbul-umbul, apalagi spanduk atau baliho. Dia hanya
memberikan keteladanan. Keteladanan kecil yang berdampak besar.
Saya
juga pernah membaca cerita tentang kekuatan senyum. Jika saja setiap
orang memberi senyum kepada paling sedikit satu orang yang
dijumpainya hari itu, maka dampaknya akan luar biasa. Orang yang
mendapat senyum akan merasa bahagia. Dia lalu akan tersenyum pada
orang lain yang dijumpainya. Begitu seterusnya, sehingga senyum tadi
meluas kepada banyak orang. Padahal asal mulanya hanya dari satu
orang yang tersenyum.
Terilhami
oleh sebuah cerita di sebuah buku “Chiken Soup”, saya kerap
membayar karcis tol bagi mobil di belakang saya. Tidak perduli siapa
di belakang. Sebab dari cerita di buku itu, orang di belakang saya
pasti akan merasa mendapat kejutan. Kejutan yang menyenangkan. Jika
hari itu dia bahagia, maka harinya yang indah akan membuat dia
menyebarkan virus kebahagiaan tersebut kepada orang-orang yang dia
temui hari itu. Saya berharap virus itu dapat menyebar ke banyak
orang.
Bayangkan
jika Anda memberi pujian yang tulus bagi minimal satu orang setiap
hari. Pujian itu akan memberi efek berantai ketika orang yang Anda
puji merasa bahagia dan menularkan virus kebahagiaan tersebut kepada
orang-orang di sekitarnya.
Anak
saya yang di SD selalu mengingatkan jika saya lupa mengucapkan kata
“terima kasih” saat petugas jalan tol memberikan karcis dan uang
kembalian. Menurut dia, kata “terima kasih” merupakan “magic
words” yang akan membuat orang lain senang. Begitu juga kata
“tolong” ketika kita meminta bantuan orang lain, misalnya
pembantu rumah tangga kita.
Dulu
saya sering marah jika ada angkutan umum, misalnya bus, mikrolet,
bajaj, atau angkot seenaknya menyerobot mobil saya. Sampai suatu hari
istri saya mengingatkan bahwa saya harus berempati pada mereka. Para
supir kendaraan umum itu harus berjuang untuk mengejar setoran.
“Sementara kamu kan tidak mengejar setoran?’’ Nasihat itu
diperoleh istri saya dari sebuah tulisan almarhum Romo Mangunwijaya.
Sejak saat itu, jika ada kendaraan umum yang menyerobot seenak
udelnya, saya segera teringat nasihat istri tersebut.
Saya
membayangkan, alangkah indahnya hidup kita jika kita dapat membuat
orang lain bahagia. Alangkah menyenangkannya jika kita bisa berempati
pada perasaan orang lain. Betapa bahagianya jika kita menyadari
dengan membuang sisa makanan kita di restoran cepat saji, kita sudah
meringankan pekerjaan pelayan restoran.
Begitu
juga dengan tidak membuang karcis tol begitu saja setelah membayar,
kita sudah meringankan beban petugas kebersihan. Dengan tidak
membuang permen karet sembarangan, kita sudah menghindari orang dari
perasaan kesal karena sepatu atau celananya lengket kena permen
karet.
Kita
sering mengaku bangsa yang berbudaya tinggi tetapi berapa banyak di
antara kita yang ketika berada di tempat-tempat publik, ketika
membuka pintu, menahannya sebentar dan menoleh kebelakang untuk
berjaga-jaga apakah ada orang lain di belakang kita? Saya pribadi
sering melihat orang yang membuka pintu lalu melepaskannya begitu
saja tanpa perduli orang di belakangnya terbentur oleh pintu
tersebut.
Jika
kita mau, banyak hal kecil bisa kita lakukan. Hal yang tidak
memberatkan kita tetapi besar artinya bagi orang lain. Mulailah dari
hal-hal kecil-kecil. Mulailah dari diri Anda lebih dulu. Mulailah
sekarang juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar