"Becik
ketitik, ala ketoro"
Selasa,
27 Februari 2007 12:00 WIB
1753
Dibaca
Tools
Box
Ada
satu kejadian yang sampai saat ini tidak pernah saya lupakan. Saat
itu usia saya 13 tahun. Suatu hari kakek saya, yang bekerja di
pertambangan di Kalimantan, berkunjung ke rumah. Dia membawa buah
tangan banyak sekali. Di antaranya sekaleng besar permen warna-warni.
Saya belum pernah melihat permen seindah dan sebanyak itu.
Dengan
perasaan bangga yang luar biasa, saya membagi-bagikan permen itu
kepada sahabat dan teman dekat saya. Bahkan anak-anak lain yang tidak
saya kenal ikut kebagian. Kemudian datang seorang anak. Saya tidak
mengenalnya. Sudah beberapa kali dia bolak balik untuk minta permen
dan bolak balik saya beri.
Jadi,
ketika dia minta lagi, saya julurkan tangan untuk memberi. Tapi apa
yang terjadi? Tiba-tiba salah satu jari saya berdarah. Anak tersebut
lari sembari tertawa gembira. Rupanya dia sudah menyiapkan benda
tajam untuk melukai tangan saya. Mengapa peristiwa itu masih lekat
dalam ingatan saya? Karena sampai sekarang saya tidak juga mengerti:
mengapa dia ingin melukai tangan saya? Bukankah tangan itu yang
memberinya permen?
Pada
peristiwa Tsunami, Media Grup memprakarsai pengumpulan dana dan
barang dari masyarakat untuk membantu saudara-saudara kita di Aceh
dan Nias. Saat itu hampir semua karyawan Media Grup dikerahkan guna
mengurus sumbangan dari masyarakat untuk didistribusikan ke Aceh dan
Nias. Pekerjaan yang luar biasa besar dan berat.
Karyawan
dibagi dalam jadwal. Siang dan malam. Arahan yang kami pegang ketat:
satu rupiah uang bantuan yang masuk, tidak boleh berkurang satu sen
pun ketika tiba di tempat tujuan. Setiap kilo gram susu yang
diterima, tidak boleh kurang barang satu ons pun ketika tiba di Aceh
atau Nias. Untuk itu Media Grup sendiri harus mengeluarkan dana
selain tenaga.
Tapi,
toh tetap muncul suara sumbang. Kebanyakan datang dari individu atau
lembaga yang setahu saya justru tidak berbuat apa-apa. Padahal semua
yang dilakukan Media Grup waktu itu diaudit oleh Erns & Young,
lembaga audit yang kredibel. Juga semua dana yangmasuk dan disalurkan
diumumkan di Media Indonesia maupun Metro TV. Semua jelas dan
transparan. Bahkan dokumen laporan pertanggungjawaban yang dibuat
Media Grup mendapat pujian dari Komisi IX dan Komisi XI DPR-RI saat
acara dengar pendapat.
Kesimpulannya,
Perbuatan baik tidak selalu dipandang baik. Apalagi ketika pikiran
kita setiap hari dijejali berita-berita negatif. Virus curiga,
cemburu, iri, dan dengki semakin kuat menyebar. Mata hati pun tak
kuasa melihat dengan jernih.
Maka
saya harus bisa menerima dengan lapang dada manakala ada komentar
yang menuduh undian buku di website ini hanya akal-akalan alias
bohong belaka. Walau saya melihat sendiri bagaimana tim Kick Andy
begitu repot menyiapkan buku undian tersebut. Mulai dari menentukan
judul buku, menghubungi penerbit, membeli, mengambil di gudang,
mengundi pemenang, membungkus dengan rapih sampai mengirimnya ke
alamat pemenang.
Suatu
rangkaian pekerjaan yang tidak mudah. Menyita waktu dan juga uang.
Namun diujung kerja keras itu: sejumlah komentar menuduh semua ini
bohong belaka.
Saya
bisa memahami tuduhan itu tentu lahir dari hati yang kecewa. Jumlah
buku memang terbatas. Karena itu harus diundi. Terbatas karena baru
segitulah kemampuan Kick Andy yang baru saja genap satu tahun. Buku
yang harus kami siapkan setiap episode rata-rata 200 buku. Sejumlah
40 buku kami siapkan untuk undian. Buku akan kami kirim kemana pun
alamat pemenangnya. Termasuk ke Papua dan Aceh.
Pernah
terpikirkan untuk menghentikan undian buku gratis ini. Selain
menyedot terlalu banyak tenaga, biaya yang disiapkan juga tidak
sedikit. Tetapi tim Kick Andy akhirnya bertekad untuk melanjutkan
pemberian buku gratis. Sebab kami tidak boleh takluk oleh kecurigaan.
Kami tidak boleh surut oleh tuduhan. Pepatah Jawa bilang, becik
ketitik, ala ketoro. Perbuatan yang baik atau buruk, akhirnya pasti
terlihat juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar