Bismilahirrohmannirrohim

Semoga selamat dan bahagia di dunia dan di akhirat

Minggu, 23 Oktober 2011

Instropeksi



Rabu, 07 Februari 2007 12:00 WIB
1696 Dibaca
Tools Box
Salah satu komentar yang saya baca di website ini sempat membuat saya merenung. Komentar itu mengatakan saya kurang bisa berempati pada nasib orang kecil karena saya tidak pernah merasakan bagaimana menjadi orang susah.
Saya tidak tahu dalam konteks apa saya "dituduh" seperti itu. Kata orang, don’t judge a book by it’s cover. Jangan menilai sebuah buku dari sampulnya. Saya dulu termasuk yang sering menilai orang dari tampilan luarnya.
Saya terkesan pada sebuah cerita Tiongkok kuno. Alkisah, seorang saudagar kaya kehilangan sekeping uang logam. Dia curiga uang itu dicuri anak tetangga yang menurut dia lagak dan lagunya mirip pencuri. Saat sedang bercuriga seperti itu, sang anak lewat dan tersenyum padanya. "Lihat, senyum itu khas senyum seorang pencuri. Lagak lagunya juga," umpat si saudagar dalam hati. Muak betul dia melihat anak tetangga tersebut. ,/p>
Namun ketika sang saudagar berbalik, tiba-tiba dari sakunya jatuh sekeping uang. "Ups, ternyata terselip di saku," ujarnya dalam hati. Pada saat bersamaan, sang anak lewat lagi dan menunduk hormat pada sang saudagar. "Ah, kalau dilihat dari senyumnya, tampaknya dia anak yang baik dan hormat pada orangtua. Lagak lagunya juga santun," ujarnya dalam hati. Kita memang sering menilai orang menurut persepsi kita. Bahkan kita sering memaksakan penilaian kita dengan mengabaikan fakta.
Suatu hari, saya menegur seorang reporter karena gagal mendapat berita yang tidak terlampau sulit. Saya menantang dia dengan mengatakan saya bisa mendapatkan berita tersebut. Apa jawabnya? "Mas Andy sih enak, naik mobil dan disupiri. Jadi gak merasakan susahnya di lapangan."
Dia tidak salah. Ketika kuliah dulu, saya juga pernah mengatakan kepada GM "Om Pasikom" Sudarta bahwa saya ingin menjadi kartunis seperti dia karena penghasilannya besar. Dia tertawa. "Jangan lihat saya sekarang. Tapi lihat bagaimana proses saya untuk bisa menjadi seperti sekarang."
Ayah saya tukang servis mesin tik, ibu penjahit. Dengan pertimbangan keuangan, saya dimasukkan sekolah teknik. Harapannya, jika tamat STM nanti saya bisa langsung bekerja.
Belum tamat STM, ayah meninggal. Saya terpaksa ikut kakak yang tinggal di Jakarta. Kami tinggal di sebuah gang sempit. Setiap hari pekerjaan rutin saya: pagi memandikan dua keponakan, menyiapkan sarapan mereka, mengantar ke sekolah, cuci baju, cuci piring, mengepel, jemput keponakan, mandi, makan siang, ke perpustakaan Soemantri Brojonegoro Kuningan, catat bahan-bahan kuliah sampai tangan pegal (tidak punya ongkos untuk fotokopi), lalu berangkat ke kampus.
Dalam seminggu saya harus bisa bertahan dengan uang Rp 5.000 di kantong. Caranya? Setiap hari saya pakai celana jins butut, sepatu butut, kaos oblong, lalu muka dibuat cuek. Kalau kondektur bus minta ongkos, pura-pura budek. Kalau kondektur naik pitam, turun di halte terdekat, pindah bus di belakangnya. Pokoknya bagaimana agar sampai kampus tanpa harus keluar ongkos. Ini namanya permainan adu nyali. Adu nyali sama kondektur dari Sumatera Utara yang sangar-sangar itu.
Di kampus, hindari teman-teman yang ngajak jajan. Kecuali kalau jelas ada yang ulang tahun dan mau nraktir. Tuhan maha adil. Dengan keterampilan membuat karikatur, setiap ada yang ulang tahun, atau saat lebaran, natalan, dan tahun baru-an selalu saja ada yang pesan kartu-kartu ucapan yang lucu-lucu. Hasilnya lumayan, terutama lebaran.
Logistik semakin kuat manakala cerpen-cerpen, kartun, dan artikel yang saya kirim ke berbagai majalah ada yang dimuat. Dari situ saya bertahan dan tidak menyusahkan kakak.
Semua pengalaman hidup itu membuat saya marah jika kepada pedagang kecil istri saya mencoba melakukan tawar-menawar hingga titik darah penghabisan. Tadinya dia bangga sebagai istri berhasil menghemat sejumlah uang belanja. Tapi, sekarang tawar menawar hanya untuk kepuasan. Setelah "menang", uang kembalian diberikan kepada si pedagang.
Saya juga senang anak dan istri sekarang bisa memahami mengapa saya cepat iba pada mereka yang susah. Sebab saya pernah berada di posisi itu. Tapi, komentar bahwa saya kurang berempati kepada orang kecil karena saya tidak pernah susah, tetap akan saya jadikan bahan introspeksi. Mungkin itulah "sampul" yang dilihat oang tentang saya.

EMPATI


EMPATI
08 2008 16:24 WIB
2763 Dibaca
Tools Box
Suatu malam, sepulang kerja, saya mampir di sebuah restoran cepat saji di kawasan Bintaro. Suasana sepi. Di luar hujan. Semua pelayan sudah berkemas. Restoran hendak tutup. Tetapi mungkin melihat wajah saya yang memelas karena lapar, salah seorang dari mereka memberi aba-aba untuk tetap melayani. Padahal, jika mau, bisa saja mereka menolak.
Sembari makan saya mulai mengamati kegiatan para pelayan restoran. Ada yang menghitung uang, mengemas peralatan masak, mengepel lantai dan ada pula yang membersihkan dan merapikan meja-meja yang berantakan.
Saya membayangkan rutinitas kehidupan mereka seperti itu dari hari ke hari. Selama ini hal tersebut luput dari perhatian saya. Jujur saja, jika menemani anak-anak makan di restoran cepat saji seperti ini, saya tidak terlalu hirau akan keberadaan mereka. Seakan mereka antara ada dan tiada. Mereka ada jika saya membutuhkan bantuan dan mereka serasa tiada jika saya terlalu asyik menyantap makanan.
Namun malam itu saya bisa melihat sesuatu yang selama ini seakan tak terlihat. Saya melihat bagaimana pelayan restoran itu membersihkan sisa-sisa makanan di atas meja. Pemandangan yang sebenarnya biasa-biasa saja. Tetapi, mungkin karena malam itu mata hati saya yang melihat, pemandangan tersebut menjadi istimewa.
Melihat tumpukan sisa makan di atas salah satu meja yang sedang dibersihkan, saya bertanya-tanya dalam hati: siapa sebenarnya yang baru saja bersantap di meja itu? Kalau dilihat dari sisa-sisa makanan yang berserakan, tampaknya rombongan yang cukup besar. Tetapi yang menarik perhatian saya adalah bagaimana rombongan itu meninggalkan sampah bekas makanan.
Sungguh pemandangan yang menjijikan. Tulang-tulang ayam berserakan di atas meja. Padahal ada kotak-kotak karton yang bisa dijadikan tempat sampah. Nasi di sana-sini. Belum lagi di bawah kolong meja juga kotor oleh tumpahan remah-remah. Mungkin rombongan itu membawa anak-anak.
Meja tersebut bagaikan ladang pembantaian. Tulang belulang berserakan. Saya tidak habis pikir bagaimana mereka begitu tega meninggalkan sampah berserakan seperti itu. Tak terpikir oleh mereka betapa sisa-sisa makanan yang menjijikan itu harus dibersihkan oleh seseorang, walau dia seorang pelayan sekalipun.
Sejak malam itu saya mengambil keputusan untuk membuang sendiri sisa makanan jika bersantap di restoran semacam itu. Saya juga meminta anak-anak melakukan hal yang sama. Awalnya tidak mudah. Sebelum ini saya juga pernah melakukannya. Tetapi perbuatan saya itu justru menjadi bahan tertawaan teman-teman. Saya dibilang sok kebarat-baratan. Sok menunjukkan pernah ke luar negeri. Sebab di banyak negara, terutama di Eropa dan Amerika, sudah jamak pelanggan membuang sendiri sisa makanan ke tong sampah. Pelayan terbatas karena tenaga kerja mahal.
Sebenarnya tidak terlalu sulit membersihkan sisa-sisa makanan kita. Tinggal meringkas lalu membuangnya di tempat sampah. Cuma butuh beberapa menit. Sebuah perbuatan kecil. Tetapi jika semua orang melakukannya, artinya akan besar sekali bagi para pelayan restoran.
Saya pernah membaca sebuah buku tentang perbuatan kecil yang punya arti besar. Termasuk kisah seorang bapak yang mengajak anaknya untuk membersihkan sampah di sebuah tanah kosong di kompleks rumah mereka. Karena setiap hari warga kompleks melihat sang bapak dan anaknya membersihkan sampah di situ, lama-lama mereka malu hati untuk membuang sampah di situ.
Belakangan seluruh warga bahkan tergerak untuk mengikuti jejak sang bapak itu dan ujung-ujungnya lingkungan perumahan menjadi bersih dan sehat. Padahal tidak ada satu kata pun dari bapak tersebut. Tidak ada slogan, umbul-umbul, apalagi spanduk atau baliho. Dia hanya memberikan keteladanan. Keteladanan kecil yang berdampak besar.
Saya juga pernah membaca cerita tentang kekuatan senyum. Jika saja setiap orang memberi senyum kepada paling sedikit satu orang yang dijumpainya hari itu, maka dampaknya akan luar biasa. Orang yang mendapat senyum akan merasa bahagia. Dia lalu akan tersenyum pada orang lain yang dijumpainya. Begitu seterusnya, sehingga senyum tadi meluas kepada banyak orang. Padahal asal mulanya hanya dari satu orang yang tersenyum.
Terilhami oleh sebuah cerita di sebuah buku “Chiken Soup”, saya kerap membayar karcis tol bagi mobil di belakang saya. Tidak perduli siapa di belakang. Sebab dari cerita di buku itu, orang di belakang saya pasti akan merasa mendapat kejutan. Kejutan yang menyenangkan. Jika hari itu dia bahagia, maka harinya yang indah akan membuat dia menyebarkan virus kebahagiaan tersebut kepada orang-orang yang dia temui hari itu. Saya berharap virus itu dapat menyebar ke banyak orang.
Bayangkan jika Anda memberi pujian yang tulus bagi minimal satu orang setiap hari. Pujian itu akan memberi efek berantai ketika orang yang Anda puji merasa bahagia dan menularkan virus kebahagiaan tersebut kepada orang-orang di sekitarnya.
Anak saya yang di SD selalu mengingatkan jika saya lupa mengucapkan kata “terima kasih” saat petugas jalan tol memberikan karcis dan uang kembalian. Menurut dia, kata “terima kasih” merupakan “magic words” yang akan membuat orang lain senang. Begitu juga kata “tolong” ketika kita meminta bantuan orang lain, misalnya pembantu rumah tangga kita.
Dulu saya sering marah jika ada angkutan umum, misalnya bus, mikrolet, bajaj, atau angkot seenaknya menyerobot mobil saya. Sampai suatu hari istri saya mengingatkan bahwa saya harus berempati pada mereka. Para supir kendaraan umum itu harus berjuang untuk mengejar setoran. “Sementara kamu kan tidak mengejar setoran?’’ Nasihat itu diperoleh istri saya dari sebuah tulisan almarhum Romo Mangunwijaya. Sejak saat itu, jika ada kendaraan umum yang menyerobot seenak udelnya, saya segera teringat nasihat istri tersebut.
Saya membayangkan, alangkah indahnya hidup kita jika kita dapat membuat orang lain bahagia. Alangkah menyenangkannya jika kita bisa berempati pada perasaan orang lain. Betapa bahagianya jika kita menyadari dengan membuang sisa makanan kita di restoran cepat saji, kita sudah meringankan pekerjaan pelayan restoran.
Begitu juga dengan tidak membuang karcis tol begitu saja setelah membayar, kita sudah meringankan beban petugas kebersihan. Dengan tidak membuang permen karet sembarangan, kita sudah menghindari orang dari perasaan kesal karena sepatu atau celananya lengket kena permen karet.
Kita sering mengaku bangsa yang berbudaya tinggi tetapi berapa banyak di antara kita yang ketika berada di tempat-tempat publik, ketika membuka pintu, menahannya sebentar dan menoleh kebelakang untuk berjaga-jaga apakah ada orang lain di belakang kita? Saya pribadi sering melihat orang yang membuka pintu lalu melepaskannya begitu saja tanpa perduli orang di belakangnya terbentur oleh pintu tersebut.
Jika kita mau, banyak hal kecil bisa kita lakukan. Hal yang tidak memberatkan kita tetapi besar artinya bagi orang lain. Mulailah dari hal-hal kecil-kecil. Mulailah dari diri Anda lebih dulu. Mulailah sekarang juga.

"Becik ketitik, ala ketoro"


"Becik ketitik, ala ketoro"
Selasa, 27 Februari 2007 12:00 WIB
1753 Dibaca
Tools Box
Ada satu kejadian yang sampai saat ini tidak pernah saya lupakan. Saat itu usia saya 13 tahun. Suatu hari kakek saya, yang bekerja di pertambangan di Kalimantan, berkunjung ke rumah. Dia membawa buah tangan banyak sekali. Di antaranya sekaleng besar permen warna-warni. Saya belum pernah melihat permen seindah dan sebanyak itu.
Dengan perasaan bangga yang luar biasa, saya membagi-bagikan permen itu kepada sahabat dan teman dekat saya. Bahkan anak-anak lain yang tidak saya kenal ikut kebagian. Kemudian datang seorang anak. Saya tidak mengenalnya. Sudah beberapa kali dia bolak balik untuk minta permen dan bolak balik saya beri.
Jadi, ketika dia minta lagi, saya julurkan tangan untuk memberi. Tapi apa yang terjadi? Tiba-tiba salah satu jari saya berdarah. Anak tersebut lari sembari tertawa gembira. Rupanya dia sudah menyiapkan benda tajam untuk melukai tangan saya. Mengapa peristiwa itu masih lekat dalam ingatan saya? Karena sampai sekarang saya tidak juga mengerti: mengapa dia ingin melukai tangan saya? Bukankah tangan itu yang memberinya permen?
Pada peristiwa Tsunami, Media Grup memprakarsai pengumpulan dana dan barang dari masyarakat untuk membantu saudara-saudara kita di Aceh dan Nias. Saat itu hampir semua karyawan Media Grup dikerahkan guna mengurus sumbangan dari masyarakat untuk didistribusikan ke Aceh dan Nias. Pekerjaan yang luar biasa besar dan berat.
Karyawan dibagi dalam jadwal. Siang dan malam. Arahan yang kami pegang ketat: satu rupiah uang bantuan yang masuk, tidak boleh berkurang satu sen pun ketika tiba di tempat tujuan. Setiap kilo gram susu yang diterima, tidak boleh kurang barang satu ons pun ketika tiba di Aceh atau Nias. Untuk itu Media Grup sendiri harus mengeluarkan dana selain tenaga.
Tapi, toh tetap muncul suara sumbang. Kebanyakan datang dari individu atau lembaga yang setahu saya justru tidak berbuat apa-apa. Padahal semua yang dilakukan Media Grup waktu itu diaudit oleh Erns & Young, lembaga audit yang kredibel. Juga semua dana yangmasuk dan disalurkan diumumkan di Media Indonesia maupun Metro TV. Semua jelas dan transparan. Bahkan dokumen laporan pertanggungjawaban yang dibuat Media Grup mendapat pujian dari Komisi IX dan Komisi XI DPR-RI saat acara dengar pendapat.
Kesimpulannya, Perbuatan baik tidak selalu dipandang baik. Apalagi ketika pikiran kita setiap hari dijejali berita-berita negatif. Virus curiga, cemburu, iri, dan dengki semakin kuat menyebar. Mata hati pun tak kuasa melihat dengan jernih.
Maka saya harus bisa menerima dengan lapang dada manakala ada komentar yang menuduh undian buku di website ini hanya akal-akalan alias bohong belaka. Walau saya melihat sendiri bagaimana tim Kick Andy begitu repot menyiapkan buku undian tersebut. Mulai dari menentukan judul buku, menghubungi penerbit, membeli, mengambil di gudang, mengundi pemenang, membungkus dengan rapih sampai mengirimnya ke alamat pemenang.
Suatu rangkaian pekerjaan yang tidak mudah. Menyita waktu dan juga uang. Namun diujung kerja keras itu: sejumlah komentar menuduh semua ini bohong belaka.
Saya bisa memahami tuduhan itu tentu lahir dari hati yang kecewa. Jumlah buku memang terbatas. Karena itu harus diundi. Terbatas karena baru segitulah kemampuan Kick Andy yang baru saja genap satu tahun. Buku yang harus kami siapkan setiap episode rata-rata 200 buku. Sejumlah 40 buku kami siapkan untuk undian. Buku akan kami kirim kemana pun alamat pemenangnya. Termasuk ke Papua dan Aceh.
Pernah terpikirkan untuk menghentikan undian buku gratis ini. Selain menyedot terlalu banyak tenaga, biaya yang disiapkan juga tidak sedikit. Tetapi tim Kick Andy akhirnya bertekad untuk melanjutkan pemberian buku gratis. Sebab kami tidak boleh takluk oleh kecurigaan. Kami tidak boleh surut oleh tuduhan. Pepatah Jawa bilang, becik ketitik, ala ketoro. Perbuatan yang baik atau buruk, akhirnya pasti terlihat juga.

Sabtu, 15 Oktober 2011

Cara Install Game Point Blank (PB)



Mungkin diantara sahabat semua ada yang masih bingung cara install point blank (PB) game yang telah saya berikan link download gratis game point blank di tulisan sebelumnya. Kali ini saya coba akan menulis petunjuknya di sini. Tapi, sebelum melakukan proses instalasi, sebelumnya pastikan dulu jika komputer kamu spesifikasinya sesuai. Berikut adalah minimum spec komputer yang dibutuhkan agar bisa memainkan permainan point blank (PB) online :
1. CPU P4 2.4G / Athlon 2500+
2. Memory Ram 512 mb
3. VGA 128 mb
Setelah spec computer sesuai dan game point blank juga telah didownload beserta pacthnya, maka selanjutnya lakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Install DirectX9.0c atau versi yang lebih tinggi dan juga update driver video card (VGA) yang versi terbaru.
2. Install client gamenya, ikuti saja prosesnya sampai selesai. Pertama click pada installation, lalu proses loading akan berjalan.
3. Setelah itu akan mucul window baru, biasanya ada tulisan “selamat datang di di point blank online setup wizard”, klik lanjut
4. Selanjutnya akan muncul EULA (end user licence agreement), klik saya setuju
5. Pilih komponen yang akan diinstall, dan klik lanjut.
6. Setelah itu, terakhir memilih lokasi install. Secara default sih seperti saat install program lain biasanya game point blank akan diinstall di c:Program FilesGemscoolPoint Blank. Tapi kalau mau diinstall di drive D juga bisa, terserah.
7. Setelah itu tunggu hingga setup instalasi selesai. Setelah itu klik tutup. Selesai deh proses instalasi point blank dan secara otomatis akan ada tombol pintas (shortcut) PB di desktop computer kamu. Oh, iya setelah proses instalasi client game selesai, jangan lupa untuk menginstal full patchnya juga biar lebih cepat, karena kalau secara online biasanya lama. Selanjutnya kamu bisa mulai main setelah register untuk mendapatkan id point blank.
Untuk cara memainkan point blank, silahkan klik di sini cara main point blank.

Pada beberapa kasus juga sering ada user yang menemui pesan eror seperti Unknown Error has occurred [0x82000023] saat mau memainkan game point blank online ini, solusinya jalankan gamenya pada login administrator. Jadi, tidak langsung di double click, tapi klik kanan pada shortcut yang ada di desktop, lalu Run as administrator. Ada juga yang muncul seperti Grafic Device Does Not Support pixelshade: NVIDIA GeForce4 MX4000 , ini berarti game point blank tidak support VGA tipe tersebut, solusinya ganti VGA dengan tipe yang sesuai. Itu saja yang dapat saya tulis mengenai info game seputar cara instal point blank online, semoga mudah dipahami dan dapat bermanfaat ! Jika masih ada kesulitan mengenai game point blank ini silakan mampir ke forum gemscool, kalian akan menemukan banyak sekali informasi seputar point blank dan juga game gemscool yang lain. Serta bisa bertanya kepada para member lain yang sudah mahir.

 sumber :
http://www.idafazz.com/cara-install-game-point-blank-pb.php