Rabu,
07 Februari 2007 12:00 WIB
1696
Dibaca
Tools
Box
Salah
satu komentar yang saya baca di website ini sempat membuat saya
merenung. Komentar itu mengatakan saya kurang bisa berempati pada
nasib orang kecil karena saya tidak pernah merasakan bagaimana
menjadi orang susah.
Saya
tidak tahu dalam konteks apa saya "dituduh" seperti itu.
Kata orang, don’t judge a book by it’s cover. Jangan menilai
sebuah buku dari sampulnya. Saya dulu termasuk yang sering menilai
orang dari tampilan luarnya.
Saya
terkesan pada sebuah cerita Tiongkok kuno. Alkisah, seorang saudagar
kaya kehilangan sekeping uang logam. Dia curiga uang itu dicuri anak
tetangga yang menurut dia lagak dan lagunya mirip pencuri. Saat
sedang bercuriga seperti itu, sang anak lewat dan tersenyum padanya.
"Lihat, senyum itu khas senyum seorang pencuri. Lagak lagunya
juga," umpat si saudagar dalam hati. Muak betul dia melihat anak
tetangga tersebut. ,/p>
Namun
ketika sang saudagar berbalik, tiba-tiba dari sakunya jatuh sekeping
uang. "Ups, ternyata terselip di saku," ujarnya dalam hati.
Pada saat bersamaan, sang anak lewat lagi dan menunduk hormat pada
sang saudagar. "Ah, kalau dilihat dari senyumnya, tampaknya dia
anak yang baik dan hormat pada orangtua. Lagak lagunya juga santun,"
ujarnya dalam hati. Kita memang sering menilai orang menurut persepsi
kita. Bahkan kita sering memaksakan penilaian kita dengan mengabaikan
fakta.
Suatu
hari, saya menegur seorang reporter karena gagal mendapat berita yang
tidak terlampau sulit. Saya menantang dia dengan mengatakan saya bisa
mendapatkan berita tersebut. Apa jawabnya? "Mas Andy sih enak,
naik mobil dan disupiri. Jadi gak merasakan susahnya di lapangan."
Dia
tidak salah. Ketika kuliah dulu, saya juga pernah mengatakan kepada
GM "Om Pasikom" Sudarta bahwa saya ingin menjadi kartunis
seperti dia karena penghasilannya besar. Dia tertawa. "Jangan
lihat saya sekarang. Tapi lihat bagaimana proses saya untuk bisa
menjadi seperti sekarang."
Ayah
saya tukang servis mesin tik, ibu penjahit. Dengan pertimbangan
keuangan, saya dimasukkan sekolah teknik. Harapannya, jika tamat STM
nanti saya bisa langsung bekerja.
Belum
tamat STM, ayah meninggal. Saya terpaksa ikut kakak yang tinggal di
Jakarta. Kami tinggal di sebuah gang sempit. Setiap hari pekerjaan
rutin saya: pagi memandikan dua keponakan, menyiapkan sarapan mereka,
mengantar ke sekolah, cuci baju, cuci piring, mengepel, jemput
keponakan, mandi, makan siang, ke perpustakaan Soemantri Brojonegoro
Kuningan, catat bahan-bahan kuliah sampai tangan pegal (tidak punya
ongkos untuk fotokopi), lalu berangkat ke kampus.
Dalam
seminggu saya harus bisa bertahan dengan uang Rp 5.000 di kantong.
Caranya? Setiap hari saya pakai celana jins butut, sepatu butut, kaos
oblong, lalu muka dibuat cuek. Kalau kondektur bus minta ongkos,
pura-pura budek. Kalau kondektur naik pitam, turun di halte terdekat,
pindah bus di belakangnya. Pokoknya bagaimana agar sampai kampus
tanpa harus keluar ongkos. Ini namanya permainan adu nyali. Adu nyali
sama kondektur dari Sumatera Utara yang sangar-sangar itu.
Di
kampus, hindari teman-teman yang ngajak jajan. Kecuali kalau jelas
ada yang ulang tahun dan mau nraktir. Tuhan maha adil. Dengan
keterampilan membuat karikatur, setiap ada yang ulang tahun, atau
saat lebaran, natalan, dan tahun baru-an selalu saja ada yang pesan
kartu-kartu ucapan yang lucu-lucu. Hasilnya lumayan, terutama
lebaran.
Logistik
semakin kuat manakala cerpen-cerpen, kartun, dan artikel yang saya
kirim ke berbagai majalah ada yang dimuat. Dari situ saya bertahan
dan tidak menyusahkan kakak.
Semua
pengalaman hidup itu membuat saya marah jika kepada pedagang kecil
istri saya mencoba melakukan tawar-menawar hingga titik darah
penghabisan. Tadinya dia bangga sebagai istri berhasil menghemat
sejumlah uang belanja. Tapi, sekarang tawar menawar hanya untuk
kepuasan. Setelah "menang", uang kembalian diberikan kepada
si pedagang.
Saya
juga senang anak dan istri sekarang bisa memahami mengapa saya cepat
iba pada mereka yang susah. Sebab saya pernah berada di posisi itu.
Tapi, komentar bahwa saya kurang berempati kepada orang kecil karena
saya tidak pernah susah, tetap akan saya jadikan bahan introspeksi.
Mungkin itulah "sampul" yang dilihat oang tentang saya.