Berhenti
Makan Sebelum Kenyang
Senin,
02 April 2007 12:00 WIB
1821
Dibaca
Tools
Box
Saya
paling mudah mabuk laut. Karena itu saya selalu berkelit kalau diajak
Surya Paloh, pemilik Metro TV, memancing. Membayangkan
diombang-ambing ombak saja sudah membuat pening dan mual. Karena itu
saya selalu mencari alasan kalau diajak memancing. Sampai suatu saat
saya tidak bisa berkelit. Maka bersama sejumlah teman, kami memancing
di laut lepas dekat Pulau Kaliage.
Setelah
sekian jam berpindah-pindah lokasi tanpa hasil, saya mulai mabuk.
Saya berdoa semoga Surya Paloh bosan dan mengajak kembali ke darat.
Mungkin karena jarang berdoa, Tuhan juga cuek. Tidak ada tanda-tanda
penderitaan bakal berakhir. Tiba-tiba terdengar teriakan. Umpan yang
dilempar ke laut dimakan ikan. Begitu pancing ditarik, sejumlah kakap
merah menyembul. Bukan Cuma satu, tapi empat atau lima sekaligus.
Dalam satu tali pancing memang dipasang empat sampai lima mata kail.
Seumur hidup saya belum pernah menyaksikan betapa mudahnya mendapat
ikan.
Setiap
kail ditarik, empat sampai lima ekor kakap merah tersangkut. Begitu
seterusnya tanpa henti. Seakan di bawah sana sedang ada pesta. Semua
ikan kumpul jadi satu. Dalam waktu singkat kapal sarat dengan ikan.
Semua seperti kesetanan. Saya jadi ikut kesetanan. Mabuk pun hilang.
”Stop! Stop! Cukup!,” terdengar suara Surya Paloh. Sebagian
berhenti, sebagian tetap kesetanan. ”Cukup, cukup,” Surya Paloh
mencoba mengingatkan. ”Biarkan ikan yang lain tinggal dan
berkembang biak lagi. Masih ada hari lain. Jangan serakah.”
Baru-baru ini, istri saya mempersoalkan susu anak yang menghilang
dari pasar. Dengan enteng saya bilang ganti dengan merek lain.
Tapi,
sekian tahun terbiasa dengan satu produk, tidak mudah bagi anak saya
pindah ke lain hati. Maka, terpaksalah mereka berdua berburu susu
dari satu supermarket ke hypermarket. Termasuk toko-toko kecil
diubek-ubek. Akhirnya mereka menemukan susu brengsek itu di sebuah
toko grosir di Bintaro. Produk yang ada sisa 16 kaleng. Anak saya
memaksa agar istri saya memborong susu langka itu semuanya. Tapi
istri saya menjelaskan bahwa pasti ada ibu-ibu lain yang juga
membutuhkan. Maka dia hanya membeli separuhnya. Namun ketika
persediaan hampir habis, lagi-lagi sulit mendapatkan susu tersebut.
Si kecil mulai mempersoalkan keputusan ibunya dulu yang hanya membeli
separuh. Maka perburuan dimulai lagi.
Sampai
suatu pagi, dengan wajah berseri, istri saya mengatakan problem sudah
terpecahkan. Seorang distributor akan membantu. Ceritanya, dalam
perburuan itu istri saya akhirnya menelepon ke produsen susu
tersebut. Menurut produsen, merek tersebut memang tidak diproduksi
lagi karena akan diganti dengan yang baru. Mereka meminta istri saya
menghubungi distributor besar mereka. Tapi ternyata distributor itu
sudah tidak punya stok. Mereka menganjurkan agar istri saya
menghubungi distributor kecil. Istri saya mengejar terus.
Ketika
menelepon distributor yang dimaksud, seorang pria di ujung telepon
meminta maaf karena stok mereka juga sudah habis. Namun sebelum
telepon ditutup, dia bertanya mengapa istri saya begitu gigih
mengejar susu tersebut. Bukankah bisa cari susu lain? Istri saya lalu
bercerita tentang perburuan susu itu, termasuk keputusannya untuk
tidak memborong habis persediaan susu waktu itu dengan pertimbangan
ada ibu-ibu lain yang pasti juga membutuhkan susu itu.
Di
luar dugaan, pria itu -- yang belakangan diketahui adalah pimpinan
perusahaan distribusi tersebut -- mengaku tersentuh oleh cerita istri
saya. ”Jaman sekarang jarang ada orang yang masih mau
mempertimbangkan kepentingan orang lain,” ujarnya. Dia lalu
berjanji membantu mencarikan susu tersebut. Tak sampai satu jam,
telepon istri saya berdering. ”Bu, saya sudah dapat. Mau berapa
banyak juga bisa,” ujarnya gembira. Ternyata susu itu dia temukan
di Lampung! ”Dalam dua hari susu sudah sampai di Jakarta. Biaya
pengiriman jangan dipikirkan. Saya yang tanggung,” ujarnya.
Mendengar cerita itu saya justru berbalik tidak percaya.
Di
jaman seperti ini kok masih ada orang yang mau bersusah payah ikut
mencari susu apalagi sampai ke Lampung. Kalau waktu itu dia bilang
stok habis, urusan selesai. Kenapa harus repot? Ketika Surya Paloh
meminta kami untuk berhenti memancing, sebagian besar merasa kecewa.
Bayangkan, ketika ikan begitu mudah dipancing, kami disuruh berhenti.
Begitu juga ketika susu sulit didapat, sementara di rak ada 16
kaleng, istri saya hanya membeli separuhnya. Pada waktu itu saya juga
kecewa pada keputusan istri. Dari dua kisah di atas, saya kembali
diingatkan untuk belajar. Belajar mengendalikan hawa nafsu.
Berhentilah makan sebelum kenyang. Makan secukupnya. Jangan serakah.
Pesan moral dari kitab suci itu tampaknya mudah diucapkan, tapi susah
diterapkan. Karena itu, kita perlu saling mengingatkan. Check
MailCompose Search Mail: Search MailSearch the Web